Desa Watu Rejo 1998
“Tidak ada yang lebih penting dari keluarga, karena kalau keluargamu mati, sendirian akan terasa lebih mencekam”
Kalimat itu terlintas di kepala Wangi, satu-satunya kalimat dari Sunar yang Wangi ingat, berputar terus menerus di kepalanya seperti kaset yang mengumandangkan satu kalimat yang sama secara terus-menerus. Dan kalimat itu lebih menakutkan saat melihat Rukmini yang terbaring sakit, kalimat itu seperti mimpi buruk yang terus menghantui hari-hari Wangi.
Wangi memandang Rukmini yang terkulai lemas di atas dipan kayu, yang hanya di alasi tikar anyaman dari daun pandan.
Memandang Ibu-nya tak berdaya membuatnya teringat dengan Sunar, Bapak-nya yang pergi merantau sepuluh tahun yang lalu saat usia Wangi masih lima tahun. Andai waktu bisa berputar, Wangi akan mencegah Sunar pergi, dirinya akan menhalalkan segala cara, bahkan cara yang paling nekat sekalipun asal itu bisa membuat Bapak-nya tetap di rumah. Walau mungkin cara itu tidak terfikirkan oleh anak berumur lima tahun.
Kepergian Sunar membuat keadaan keluarganya berantakan, kepergianya yang tiba-tiba dengan janji akan membuat kehidupan Wangi dan Rukmini menjadi lebih baik hanya bualan belaka, nyatanya keluarganya hidup melarat, blangsak, dan menjadi bulan-bulanan lidah tajam para tetangga.
Sudah genap sepuluh tahun Sunar pergi tanpa pernah mengirim kabar, bahkan banyak yang mengira Sunar sudah menikah lagi, membangun keluarga baru, sampai tak ingat rumah.
Ada juga yang mengatakan Sunar pulang ke rumah istri lamanya, mengingat kedatangan Rukmini di desa ini bersama Sunar hanya bermodal nikah siri, dan perut yang membesar. Kabar burung itu yang paling ramai beredar, membuat lebel Gundik dan perebut suami orang melekat pada diri Rukmini. Membuat Langkah Rukmini menejadi berat dalam mengais rejeki.
Simpati orang yang memberikan pekerjaan untuknya menjadi buah bibir, dianggap Perempuan gatal, dan mengundang amarah dari para istri yang merasa posisinya terancam. Rukmini, tidak di beri kesempatan untuk menjelaskan, apapun yang keluar dari mulutnya seperti angin lalu, tak pernah di indahkan.
Lalu sesuatu yang jahat tiba-tiba menyusup ke dalam badanya. Merenggut kesehatanya, membuat tubuhnya berangsur-angsur menyusut. Tidak ada lagi tubuh sintal semampai, tidak ada lagi rambut hitam tebal yang biasa tergerai indah. Dalam waktu satu bulan badanya tinggal tulang, kecantikanya sirna, berganti dengan luka bernanah di sekujur tubunya.
Kabar burung selanjutnya adalah yang terburuk, banyak yang bilang mungkin saja Sunar sudah mati di kota orang, itu kenapa dirinya tidak pernah pulang. Wangi lebih memilih percaya pada kabar yang terakhir, walaupun itu yang terburuk mati lebih baik dari pada menduakan Ibu-nya yang sedang sekarat.
Wangi, mendekatkan baskom berisi air hangat, mencelupkan kain perca, memeras kain itu hingga tidak ada air yang menetes, lalu dengan telaten mulai menyeka badan Rukmini.
Kain perca itu bergerak dengan lembut menyeka wajah Rukmini yang cekung, tak hanya itu, kulit Rukmini yang bersisik tak luput dari perhatian Wangi, di sekanya kulit bersisik yang mulai membiru itu.
Di beberapa bagian tubuh Rukmini seperti tangan, perut, dan kaki, mulai mengelupas, membuat tubuhnya yang kurus kering di penuhi luka basah, berbau anyir. Wangi merawat luka itu dengan telaten, menaruh perhatiin lebih pada luka yang terus mengeluarkan nanah, pada area itu Wangi menyeka lukanya dengan lembut namun berkali-kali, tidak membiarkan lalat mencium aroma anyir itu, dan kalaupun lalat akhirnya hinggap dan bertelur lalu luka itu ber-ulat, Wangi akan mencongkelnya, memaksa ulat itu keluar lalu membungkusnya dengan daun obat.
Wangi, mengamati badan Rukmini, tinggal bagian terakhir, lalu Wangi bisa pergi mengais rejeki.
Wangi mendudukkan Ibu-nya, dahi Wangi berkerut saat aroma tajam menyeruak menusuk hidung Wangi, dengan cepat Wangi memeriksa bagian punggung Rukmini, Wangi bergidik ngeri, “Kemarin kayaknya gak kayak gini Buk” ucap Wangi, melihat bagian punggung Rukmini yang tiba-tiba menghitam, darah mengalir dari pori-pori, punggungnya, yang membengkak, menyimpan cairan nanah dari balik kulitnya.