Temurun

Jizel De Lero
Chapter #2

Bagian 2

Suasana belakang rumah terasa sepi, membuat suara gesekan daun terdengar lebih nyaring, suara gemericik air yang jatuh dari dedaunan ikut membaur, membuat Wangi semakin hanyut dalam lamunanya.

"Kalau surga ada, apa Ibu akan ada disana?" Gumam Wangi, "setelah semua penderitaan yang kita lewati, kalau kita bunuh diri apa tetap di hitung dosa?" pertanyaan itu sudah ada jawabannya, Wangi tau, orang yang bunuh diri tidak akan memiliki tempat di sisi Tuhan. Tapi setelah banyaknya badai yang di lewati keluarga Wangi, dirinya tetap berharap ada pengecualian untuk Ibu-nya.

Seumur hidupnya Rukmini selalu sengsara, itu kenapa Wangi berharap Rukmini tetap bisa mengecap surga debagai buah manis dari segala penderitaan yang dirinya sudah lewati.

Wangi menatap kosong, berdiri seorang diri di samping jasad Rukmini yang tergeletak kaku di atas meja kayu, tidak ada yang berani memandikan Rukmini, sesuatu yang Wangi tidak heran, kalau Wangi orang lain dan bukan anak Rukmini, mungkin dirinya juga tidak akan sanggup memandikan mayat dengan kondisi mata membelalak dan leher tersayat yang masih mengeluarkan darah.

Wangi meletakkan tanganya di atas dahi Rukmini, tangan Wangi turun mencoba menutup mata Ibu-nya, tapi saat tangan Wangi melewati mata Rukmini, mata itu menatap tajam pada Wangi.

Wangi yang kaget, mundur beberapa langkah ke belakang, tak hanya mata, kini wajah Rukmini juga menoleh ke arah Wangi dengan mulut yang menyeringai "Nurun.. nurun nang kowe! Nurun!" kalimat itu di ucapkan berkali-kali oleh Rukmini dengan mulut menyeringai penuh darah.

Wangi, yang ketakutan meringkuk menutup mata dan telinganya. Jantungnya berdegub kencang, seperti ingin lompat dari tempatnya. "Bukan.. bukan Ibuk, bukan.." kalimat itu terus terucap dari mulut Wangi seperti kalimat penenang. Tak lama, suasana kembali hening, Wangi mencoba kembali menatap meja dimana Ibu-nya tergeletak, tapi pemandangan di sana membuat Wangi ingin pingan.

"Hahahah, Nurun.. nurun neng kowe!" Rukmini duduk membelakangi Wangi dengan kepala mendongak, kepala itu seperti hampir patah. Mata Rukmini beradu dengan mata Wangi yang ketakutan "Nurun nang kowe!"

"AAAAaaaaaaaaaa" teriakan Wangi menggelegar, dirinya kembali meringkuk menutup matanya. Wina yang tadinya berada di balik kelambu ikut teriak saking kagetnya.

"Kenapa sih Ngi? Aku sampek kaget" tanya Wina, Wangi menatap Wina, lalu pandangannya kembali ke arah Ibu-nya. Dahi Wangi berkerut melihat Ibu-nya tergeletak di atas meja kayu, seakan tidak terjadi apa-apa "Kamu lihat apa sih?" Wina kembali bertanya, lalu ikut menatap jasad Rukmini. "Udah, mandiin aja, ini bunga sama dlingu bawangnya" Wina yang bergidik ngeri melihat luka di sekujur tubuh Rukmini, cepat-cepat menyerahkan bunga di bungkusan plastik yang dirinya petik dari halaman rumah. "Mumpung masih siang, buru di selesain, biar bisa langsung di makamkan, kasian Ibu-mu kalau kesorean" imbuh Wina, sebelum meninggalkan Wangi.

Wangi menarik nafas panjang berkali-kali dirinya meyakinkan kalau jasad yang di depanya adalah Rukmini Ibu-nya, bukan orang lain. Dan hal menyeramkan yang tadi terjadi hanyalah halusinasinya saja karena syok melihat Ibu-nya meninggal secara tiba-tiba.

Wangi mengambil gayung yang terbuat dari batok kelapa, menganbil air, lalu dengan pelan mengguyur badan Rukmini. Membersihkan badan Rukmini dari sisa darah dan nanah.

biasanya kalau orang tua terlalu merepotkan, anaknya akan lega saat kematian orang tuanya datang. Merasa bebanya berkurang, bebas kemanapun karena sudah tidak ada yang perlu di urus.

Lihat selengkapnya