Semburat merah mulai menghiasi langit, tanda bahwa sebentar lagi hari akan petang. Sunar memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Pandangannya lurus ke depan, perasaan sedih masih berkecamuk di dalam hatinya.
Wangi, mengeluarkan kepalanya dari jendela, matanya menyapu jalanan menatap setiap pohon yang dirinya lewati. Ada perasaan canggung di antara Wangi dan Sunar, sepuluh tahun ternyata bisa menciptakan jarak pada kedua orang yang duduk saling berdekatan.
Wangi menatap sosok anak kecil yang mengintipnya dari balik pohon, di ujung jalan anak itu menggeleng sambil menunjuk arah jalan yang sudah Wangi lewati seakan menyuruhnya untuk putar balik. Wangi mengerutkan keningnya, semakin Wangi perhatikan anak itu semakin aneh, semakin dekat, anak itu mulai keluar dari balik pohon secara tiba-tiba, saat wajah mereka berpapasan barulah Wangi sadar kalau anak itu tidak memiliki kaki, anak itu masih menunjuk jalan dengan separuh badanya, ya.. separuh badan dengan isi perut yang terurai.
Secepat kilat Wangi kembali memasukkan kepalanya ke dalam mobil, jantungnya kembali berdegub, deru nafasnya cepat, membuat Sunar bingung dengan kelakuan anaknya "Kenapa nduk?" tanya Sunar, dirinya memandang jalan sekitar, tak ditemuinya sesuatu yang aneh, hanya jalan yang di penuhi pohon dan rumput ilalang.
Wangi menggeleng pelan, enggan membahas sesuatu yang baru saja dirinya lihat. Sunar yang melihat Wangi gelisah mencoba memikirkan sebuah topik obrolan untuk membunuh kesunyian. BRUAK, Sunar masih berfikir saat sesuatu jatuh di atas mobilnya. Membuat dirinya dan Wangi tersentak kaget. Sunar menghentikan mobilnya, tanganya meraba kursi belakang mecari senter karena hari sudah gelap dan di sepanjang jalan tidak ada penerangan.