Temurun

Jizel De Lero
Chapter #4

Bagian 4

Cahaya masuk dari sela jendela, Wangi menyipitkan matanya, mencoba menggunakan tanganya untuk menghalau cahaya tersebut. Suara ulekan mengalun merdu saling beradu, suara minyak panas menggema, apapun yang masuk ke minyak itu pasti matang dengan sempurna, dentingan sendok di dalam gelas ikut masuk ke dalam intrumen keramaian yang membuat Wangi lambat laun kembali ke alam sadarnya.

Bukan mimpi... Wangi mendengus kesal sembari mengusap wajahnya kasar. Sebenarnya Wangi berharap setelah bangun dari tidur, kejadian kemarin hanyalah runtutan mimpi buruk, dan bukan bagian dari kesialan yang menimpa hidupnya, tapi apa di kata bangun dari tempat tidur yang tidak familiar seakan menamparnya dengan realita yang tidak bisa Wangi hindari.

Wangi membuka pintu kamarnya, di luar suasana sangat ramai, banyak pasang mata langsung menatap Wangi saat dirinya mulai menampakkan diri, membuat rasa penasaran ibu-ibu, warga sekitar, terobati.

“Oh... itu loh anaknya Pak Sunar.”

“Cantik ya, tapi kurus banget.”

Bisikan itu menyebar dari mulut ke mulut, di depan Wangi, bahkan wangi bisa mendengar suara itu. Membuat Wangi yang menjadi pusat perhatian sedikit salah tingkah.

Dari pintu dapur Sekar memandang Wangi kesal “Mandi Mbak, terus bantu-bantu." ucap Sekar sambil terus mengaduk bumbu, tetangga yang dari tadi sibuk berbisik sambil menatap Wangi, mengalihkan pandangan mereka dan kembali mengerjakan apa yang tadi sedang mereka kerjakan. Wangi memandang Sekar dengan ekspresi dingin, sedangkan Sekar memandang Wangi dengan ekspresi mendominasi, cukup lama pandangan mereka saling beradu, hingga membuat perasaan orang di sekitar mereka menjadi tidak enak, seakan hal menegangkan menyebar ke segala arah.

Wangi mengalihkan pandangannya, satu hal yang Wangi sadari saat beradu tatap dengan Sekar, walau badan Sekar ramping, semampai, dan terlihat lembut, matanya sangat tajam, pendiriannya teguh, dan bukan orang yang mudah di kalahkan. Walaupun secara tidak langsung ini rumah Wangi dan Sekar hanya anak yang di pungut, anehnya hal itu tidak membuat Sekar terancam. Anehnya Sekar sangat mendominasi, terbukti saat dia meminta Wangi membantu, semua orang bergerak, semua orang diam, semua orang menurut, walau perintah itu bukan untuk mereka.

Sunar duduk di teras rumah, semua sudah siap sedia, tenda sudah di pasang, karpet sudah di gelar, kini Sunar bisa sedikit bersantai. Sekar berjalan dengan hati-hati, kepulan asap tipis yang menggelitik hidungnya menandakan kopi yang dirinyaa bawa sedang dalam keadaan panas. Sekar meletakkan gelas kopi yang baru lalu mengangkut gelas kopi yang sudah kosong.

“Kopi Pakpoh...“

Sunar, tersenyum “Coba Budemu masih hidup, keluarga kita pasti lengkap, kamu punya figur Bapak, punya figur Ibu, dan punya figur Kakak." wajah Sunar kembali mendung.

“Bude sudah di surga Pakpoh, jangan di tangisi lagi nanti jalanya gelap.”

Lihat selengkapnya