Waktu yang menunjukkan pukul dua siang menjadi alasan terkuat mengapa anak-anak kelas terlihat lesu. Ditambah lagi kelas terakhir di hari Senin adalah kelas Filsafat. Benar-benar kombinasi sempurna untuk mendatangkan rasa malas, tapi kenapa gadis di sebelahku ini malah memancarkan gelombang takjub dari tatapannya?
Benar-benar tak habis pikir. Kemampuan beradaptasinya tidak perlu diragukan lagi. Sungguh, patut diacungi jempol. Hari pertama belajar di sekolah ternama dengan kurikulum khusus, tapi gerak-geriknya seolah mengatakan bahwa ia sudah siap dengan semua ini. Aku tidak habis pikir, entah genius atau ambisius, sampai-sampai membuat nalarku bekerja lebih keras dari biasanya.
Pak Yunan menyadari bahwa tidak ada lagi murid yang memperhatikan penjelasannya. Maksudku, aku tetap memperhatikan, tapi memang jenuh rasanya dicekoki ilmu tanpa jeda. Bel terakhir untuk hari ini akan berdentang lima belas menit lagi. Namun, sepertinya Pak Yunan ingin mengakhiri kelas lebih awal. Terlihat dari bagaimana akhirnya ia berhenti berbicara panjang mengenai pemikiran-pemikiran Nietzsche melalui tampilan proyektor.
“Kalau begitu, kelas saya akhiri lebih awal karena wajah-wajah kalian seperti berteriak meminta pulang melalui tatap mata.” Pak Yunan langsung mencabut sambungan kabel yang terhubung dengan laptop. “Untuk pertemuan kali ini, tidak akan saya beri tugas. Anggap saja karena wajah melas dan datangnya anak baru di kelas ini.”
Detik berikutnya, semangat anak sekelas tiba-tiba mencapai puncak. Mereka tertawa riang tak memedulikan Pak Yunan yang masih berada di kelas. Aku menoleh ke samping kanan dan melihat Sera sedang mengetuk meja dengan telunjuknya. Tuhan, kenapa gadis itu baru menggunakan otaknya ketika kelas paling membosankan ini sudah berakhir? Ke mana raut wajah kagum yang sedari tadi ditampilkan sepanjang Pak Yunan berbicara?
Tiba-tiba kepala Sera mengangguk, seakan mendapat jawaban atas kelinglungan yang sempat dilanda. Ia pun langsung memalingkan wajahnya ke arahku, membuat tatapan kami menjadi temu. Ekspresi di wajahnya sudah berubah lagi. Kini gadis itu sedang memamerkan deretan gigi putihnya kepadaku. Katanya, “Aku udah tahu nama kamu, tapi bingung harus panggil kamu apa. Nama kamu susah.”
Lagi-lagi aku mengabaikan perkataannya apatis. Dapat kutebak pula, sih, kalau ia sudah mengetahui namaku. Jelas-jelas setiap murid memiliki identitas nama yang terpampang nyata di seragam luaran mereka, jadi tidak perlu melakukan komunikasi basa-basi yang hanya haha-hehe menanyakan nama. Perihal ingin dipanggil seperti apa, ya coba saja pikir sendiri bagaimana cara memanggil nama seseorang? Repot sekali harus merasa bingung segala.
“Aldan, lo ada kegiatan hari ini?” Aku berbicara pada punggung seseorang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya lelaki di hadapanku memutar tubuhnya menghadapku.
“Ada,” jawabnya, “nanti ada latihan renang buat persiapan lomba. Kenapa?”
Sulit sekali rasanya mengatur jadwal dengan anak satu itu. Kegiatan yang dimilikinya benar-benar tidak waras menguras seluruh waktu lengang yang dimiliki. Tidak apa, sih, sebenarnya. Toh, urusan itu juga urusan dia. Hanya saja hari ini aku terlalu muak bertemu dengan gadis kelewat pintar yang baru duduk di sebelahku, dan aku membutuhkan seseorang untuk diajak berdeliberasi mengenai pikiran-pikiranku terhadapnya. “Oh, gak apa. Semangat.”
Aldan tersenyum dan melanjutkan sesi rapi-rapi peralatan pribadi miliknya. Terasa sangat jelas bahwa ada orang yang tidak melepaskan tatapannya sejak kami mulai berbicara hingga usai berkata-kata. Aku menoleh pada si pemilik rasa penasaran yang kini sudah memasang tampang dungu seakan tidak memahami apa pun.