Wajah Kamila memerah saking kesalnya. Ia masuk ke kelasnya dan segera memilih tempat duduk di paling depan dekat jendela. Cici mengikuti Kamila dan memilih duduk disampingnya. Kamila meletakkan tasnya di atas meja dengan sedikit kasar. Ia menelungkupkan wajah ke atas tasnya.
"Baru hari pertama, aku bisa ikutan gila gara-gara ketemu cowok aneh tadi," ucap Kamila dengan nada kesal.
Cici menatap tingkah Kamila keheranan. Ia bergumam sendiri, "Wahh, hebat banget ya, Mila. Baru hari pertama, belum ada sejam udah punya fans aja. Duh bahagianya."
Cici senyum-senyum sendiri, lalu ia memanyunkan bibirnya karena iri dengan majikannya yang cantik itu.
Kamila menolehkan wajahnya menatap balik Cici dengan wajah yang masih ia telungkupkan di atas tasnya.
"Ciciiiiii. Aku nggak butuh fans. Kalau kamu mau. Ambil aja sana," Kamila berteriak dengan wajah masih kesal.
Seluruh siswa di kelas itu tak menghiraukan teriakan Kamila. Namun pandangan mereka justru tertuju pada si cowok populer "Alvin" yang melangkah masuk ke dalam kelas itu.
"A..al..vin. Kok loe..bisa disini?" tanya seorang siswa yang duduk tepat di samping meja Kamila dengan gagapnya karena takut dengan sosok Alvin.
Alvin beranjak mendekati teman cowoknya itu dan menepuk punggungnya perlahan. Alvin yang merupakan adik dari pemilik yayasan itu bisa dengan mudah meminta untuk pindah kelas.
"Hei hei hei, nggak usah tegang gitu, sekarang kita sekelas bro. Tenang aja, gue sekarang udah berubah kok. Gue nggak bakal jutek-jutek lagi karena gue lagi jatuh cinta sekarang. Tuh gebetan gue lagi capek kayaknya," ucapnya sambil menunjuk ke arah Kamila.
Kamila mendengarkan Alvin berbicara dan segera mengangkat wajahnya mencari sosok aneh itu. Mulutnya menganga menatap cowok aneh yang menunjuknya dengan jari telunjuknya itu. Ia bergeming dengan wajah menahan amarah. Ia mencari selembar kartu nama di dalam tasnya. Sementara itu, Alvin duduk di samping teman cowoknya yang tergagap tadi.
"Gue boleh duduk di sebelah loe kan Randy?" tanya Alvin pada Randy yang masih gemetar.
"B..bo..bolehhh," jawab Randy masih tergagap.
Kamila meminta Cici untuk memberikan jalan keluar dari bangkunya. Ia berjalan ke depan bangku Alvin. Alvin terlonjak senang, ia menatap Kamila dengan senyum coolnya.
"Loe pengen duduk di sebelah gue Mil? Atau loe mau berubah fikiran dan mau terima gue jadi pacar loe?" tanya Alvin penuh keyakinan.
Kamila menyodorkan selembar kartu nama ke atas meja Alvin.
Alvin mengambilnya dan menatap bingung kartu nama itu.
"Ini kartu nama dokter? Dokter spesialis kejiwaan?" tanya Alvin pada Kamila dengan raut wajah yang masih kebingungan. Mata Alvin tiba-tiba membulat lalu raut wajahnya kembali ceria.
"Ahhh gue tau. Loe pengen gue jadi dokter? Dokter spesialis kejiwaan? Okeee, gue bakal kuliah kedokteran deh kalau gitu. Thanks ya inspirasinya. Ini gue kembaliin," ucap Alvin menyodorkan kembali kartu nama itu pada Kamila dengan tersenyum lebar.
Kamila mendorong tangan Alvin yang tersodor padanya.
"Aku nggak peduli, mau kamu jadi dokter, ilmuwan, atau apalah. Aku juga nggak peduli kamu mau ambil kuliah jurusan apa. Ambil aja kartu nama itu, aku nggak butuh. Kamu jauh lebih butuh. Siapa tahu, ntar kamu berminat buat dateng ke dokter itu buat cek kejiwaan," ucap Kamila dengan nada sinis.