“Annisa, jangan bengong aja, atuh!” Teguran Yuni mengusik Annisa dari keterpakuan akan gemerlap Bandara Internasional King Abdul Aziz. Membawa kesadaran kalau dia sudah pergi begitu jauh dari Tanah Air.
“Iya, Teh,” jawab Annisa sambil mengekor di belakang TKW senior yang punya pengalaman lima belas tahun bekerja di berbagai negara Timur Tengah itu.
“Kita harus mengurus prosedur imigrasi. Setelah itu, sambil istirahat, kita menunggu jemputan dari calon majikan kita masing-masing.” Tanpa diminta, Yuni sudah menceritakan apa yang akan mereka jalani dalam waktu singkat. “Semoga majikan kita baik ya, Nis,” sambungnya lagi.
Annisa tersenyum mengamini. Bayangan kehidupan TKI yang tersiksa selama bekerja kepada seorang majikan membuatnya bergidik ngeri. Setelah sejauh ini, sudah tidak mungkin untuk berpikir ulang. Dia tidak punya pilihan selain menyelesaikan dua tahun masa kontraknya, bertahan dan berusaha untuk tidak mengeluhkan apa pun. Annisa sendiri yang bersikeras saat Ibu dan adik-adiknya tidak menyetujui keputusannya untuk menjadi TKI sepeninggal ayahnya yang tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Lamunan Annisa terhenti oleh dorongan dari sesama rekan TKI yang sedang mengantre untuk melewati pelataran pesawat. Dia langsung minta maaf kepada orang di belakangnya sambil buru-buru melangkah.
Mereka semua digiring menuju gerbang pemeriksaan keimigrasian yang dijaga oleh beberapa orang petugas orang Arab asli.
“Annisa Ca … hy-a-wu-lan?” Petugas pemeriksa menyebut nama Annisa dengan terbata-bata seraya menatapnya menyelidik. “Annisa. It comes from Arabic word, right?”
“Yes, Mister,” jawab Annisa.
Petugas itu tersenyum ramah, “Oh! You can speak English?”
Annisa balik tersenyum, “Just a little.”
“And, what is the meaning of your full name?”
“A woman with the moonlight.”
“Beautiful name. You came from Indonesia, right?”
“As you see, Sir.”
“Good luck in this country,” kata petugas pemeriksa itu sembari mengembalikan paspor Annisa.
“Thank you,” jawab Annisa sambil mengangguk dan berlalu dari pintu pemeriksaan. Yuni yang menungguinya langsung menarik tangan Annisa.
“Annisa, ingat ya! Ini negeri orang, jangan banyak senyam-senyum sama laki-laki Arab!”
“Memangnya kenapa, Teh?” Annisa tak mengerti. Dia tidak habis pikir bagaimana mungkin di negeri para nabi ini tersenyum justru dilarang, padahal senyum itu ibadah.
“Mereka lain adatnya. Kalau banyak senyam-senyum kamu bisa dianggap genit dan disangka sengaja mau menggoda.”
Annisa tertawa mendengar kata-kata seniornya, “Baiklah, Teh, lain kali tidak saya ulangi. Terima kasih sudah memberi tahu.”
Mereka lalu mengantre untuk mengambil bagasi bersama calon-calon pejuang devisa lainnya. “Setelah dapat bagasi masing-masing, kalian tetap di tempat. Sebentar lagi akan ada petugas yang mendata. Paham semuanya?”
Sebagai TKI senior, Yuni banyak membantu calon TKI yang tak berpengalaman seperti Annisa dengan penjelasan-penjelasannya.
“Ingat nama majikan masing-masing,” Yuni kembali memberi tahu. Wanita pertengahan usia kepala tiga itu sampai harus setengah berteriak untuk mendapatkan perhatian dari rombongannya.
Annisa memandangi nama majikan yang ada di dalam paspornya. El Talal. Hanya ada tulisan itu tanpa embel-embel lain. Dia mengerutkan dahi kebingungan.
“Iki bacaane opo yo, Yu?” Imah, rekan sesama TKI mendekati Annisa dan menyodorkan paspor pekerja migran miliknya.
Annisa menerima, lalu membacanya sekilas. “Mrs. Fardah Muttawar, itu nama majikanmu, Imah.”
“Oh! Dadi namane Nyonya Fardah yo, Yu?”
“Iya.”
“Makasih yo, Yu.”
“Sama-sama, Imah.”
“Kamu sendiri dapat majikan dari kota mana, Nis?” Yuni menghampiri Annisa dan Imah.