Malam itu Annisa mendapat perintah dari Miss King untuk bergabung dengan khadimah yang akan melayani makan malam majikan mereka.
“Saya harus membawakan piring makan untuk Yang Mulia Pangeran Yousoef? Tapi … tapi,” Annisa tergagap kaget mendengar perintah seniornya.
“Lakukan saja!” bentak wanita bertampang ketus itu. “Cepat ambil piring perak dari ruang penyimpanan. Makan malam kali ini dengan tata cara Arab.”
“Baik, Miss.” Annisa berlalu menuju ruang penyimpanan dan masih tak habis pikir dengan perintah itu. Zubaidah yang ikut mendengar perintah Miss King telah menunggu di sana.
“Kau beruntung sekali,” katanya menyeringai.
“Entahlah, aku sendiri pun heran,” jawab Annisa sambil meraih sebuah piring perak beserta cawan dari set yang sama. “Aku harus pergi sebelum Miss King memanggil,” katanya.
“Tunggu!” Zubaidah menarik tangan Annisa. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. “Biar kupulas matamu dulu dengan ini.” Zu membuka tutup benda kecil berbentuk mirip lipstik. Tetapi, saat tutup dibuka, tangkai krim benda itu berwarna hitam pekat. Annisa langsung tahu kalau benda itu adalah kohl, celak mata yang sering dipakai wanita Timur Tengah. Tidak sempat membantah, Annisa telanjur dibuat tak berdaya saat tangan mahir Zubaidah memulaskan kosmetik sederhana itu.
“Aih! Hentikan, Zu. Geli, aku tidak mau memakainya,” protes Annisa.
“Diam!” bentak Zubaidah. “Saat kau berdiri di depan majikan kita, kau pasti akan sangat bersyukur karena telah memakai ini.”
“Aku pasti terlihat seperti rakun dengan celak itu, Zu.”
“Tidak, gadis bodoh, kau terlihat sempurna.” Zubaidah tersenyum puas melihat hasil pekerjaannya. “Semoga beruntung!” bisik Zubaidah sambil tertawa kecil.
Annisa hanya memutar matanya kesal. Tidak ada cukup waktu untuk membersihkan matanya. Lagi pula, celak Arab terkenal pekat dan susah dihilangkan. Dia memutuskan untuk tetap ke dapur, tempat beberapa pelayan yang bertugas membawakan makan malam bagi Pangeran Yousoef Akbar El Talal telah menunggu.
Miss King menatap Annisa dengan muka masam. Wanita paruh baya berambut cokelat itu punya suara yang melengking dan nyaring bila sedang marah atau memaki. Cukup untuk membuat para khadimah muda yang melakukan kesalahan saat bertugas ketakutan.
“Lama sekali,” geramnya kesal. Tetapi, sepertinya dia tidak menyadari riasan mata baru Annisa saat memberi perintah agar gadis itu masuk ke bagian barisan paling belakang.
“Nanti letakkan piringnya setelah pelayan di depanmu meletakkan sajian utama,” pesan Miss King kepada Annisa.
“Baik, Miss.”
“Dan jangan meletakkannya dari sebelah kiri. Kau harus memutari tempat duduk Yang Mulia Pangeran dari belakang dan meletakkannya dari sebelah kanan. Apa kau paham?”
“Paham, Miss.”
“Kalau begitu kalian semua ikuti aku.”
Delapan orang pelayan termasuk Annisa melangkah di belakang Miss King. Mereka melewati lorong-lorong sayap utama paviliun merah yang sebelumnya menjadi tempat terlarang bagi Annisa. Dominasi warna biru langit dan emas pada lantai, dinding, serta seluruh furnitur memberi kesan seolah-olah tiap bagian di rumah itu tersepuh emas.
Mereka menaiki tangga Lantai 2 menuju ke ruangan dengan gaya desain interior khas suku Arab padang pasir. Tidak ada furnitur di sana, hanya ada beberapa bantal lebar di atas permadani Persia warna merah, serta kain warna-warni yang menjuntai dari langit-langit ke lantai yang membuat suasana seakan di dalam tenda khas suku Badui. Annisa juga baru menyadari sejak memasuki ruangan itu, dia mencium aroma eksotis dupa atau yang biasa disebut sebagai buhur Arab.
Di seberang pintu masuk yang mereka lewati, di atas tumpukan bantal bulu angsa, Annisa melihat seorang laki-laki berbaring santai sambil bertumpu pada siku tangan kiri dan mengisap sisha dari botol kaca di dekatnya.
Satu per satu pelayan yang masuk berjalan memutar di belakang tempat laki-laki itu duduk untuk menaruh makanan yang dibawa sambil tak lupa menyebutkan nama makanan itu.
Tibalah giliran Annisa. Dengan hati-hati dia melangkah memutar, berusaha sedapat mungkin agar langkah kakinya tidak terdengar. Dia melihat laki-laki itu meletakkan pipa sisha dan memberi jarak agar Annisa bisa meletakkan piring dan cawan perak yang dia bawa.
Annisa membungkuk hormat terlebih dahulu sebelum berlutut dan meletakkan piring dan cawan perak ke atas karpet bulu domba. Setelah melakukan tugasnya, Annisa kembali membungkuk hormat, kemudian melangkah menuju tempat para pelayan lain berdiri menunggu. Mereka semua berbaris di balik punggung Miss King.
Biasanya saat itulah Pangeran memilih khadimah yang akan melayani keperluannya saat menikmati hidangan. Jika pelayan yang lain berharap untuk dipilih, Annisa justru berdoa dalam hati agar dia luput dari perhatian karena dirinya sangat tidak siap untuk melayani majikannya seorang diri.
“Suruh dia maju,” perintah itu disampaikan dalam bahasa Arab.
“Baik, Yang Mulia,” suara Miss King terdengar tegas, tetapi bernada sopan. “Annisa, ayo maju,” perintahnya.
Annisa langsung panik mendengar perintah itu. Meskipun demikian, dia tetap maju sementara pelayan yang lain berbalik badan dan melangkah meninggalkannya.
“Yang Mulia, dia khadimah baru. Mungkin akan banyak melakukan kesalahan pada saat melayani Anda. Apakah saya perlu ada di sini untuk mengawasinya?” Miss King bertanya ragu.
“Tidak, biarkan dia melakukannya sendiri.”
“Baiklah, Yang Mulia.” Miss King menunduk hormat, kemudian tatapannya beralih kepada Annisa. “Kuharap kau tak melupakan apa yang kau pelajari tempo hari. Jangan melakukan kesalahan.” Wanita itu memberi peringatan terakhir kepada juniornya.
Annisa mengangguk hormat sebelum Miss King berlalu dari tempat itu, meninggalkannya seorang diri untuk melayani majikan mereka.
Sepeninggal Miss King, Annisa kembali memberi hormat kepada majikannya. “Apakah saya boleh melakukan persiapannya sekarang, Yang Mulia?” Dia bertanya pelan sambil tetap menundukkan kepala.
“Aku belum ingin makan, tapi tolong tuangkan teh untukku.”
“Baik, Yang Mulia.” Annisa menjangkau teko perak berisi teh rempah khas Arab, dengan cekatan menuangkan cairan itu ke dalam cangkir perak. Sementara Annisa bekerja, dia bisa merasakan tatapan Pangeran Yousoef tertuju ke wajahnya.
Pangeran mengamati wajah Annisa dengan teliti. Bentuk wajah, hidung, dan bibir gadis itu sangat berbeda dari ciri khas wajah wanita Arab. Gadis itu selalu menghindar untuk menatapnya, tetapi Pangeran tahu gadis khadimah itu memiliki mata indah yang memancarkan semangat juga ketenangan. Meskipun tidak berkulit putih kemerahan seperti kulit mantan kekasihnya, pelayan wanitanya itu juga tidak berkulit sawo matang seperti kulit orang Melayu kebanyakan. Dalam penilaian sang Pangeran, wajah pelayannya termasuk cantik untuk ukuran wajah asli dari Asia Tenggara.