TENAQUIN

Cassandra Reina
Chapter #1

Elisa

Selesai latihan HEMA* untuk terakhir kalinya di sekolah, Elisa pergi ke kafe kecil di dekat taman kota bersama Erick, pelatihnya.

Erick memesan dua pancake dengan topping potongan alpukat dan cream, dua jus jeruk dan satu pan pizza dalam porsi kecil. Semua adalah favoritnya, karena saat ditanya mau pesan apa, Elisa hanya bilang terserah.

Sebenarnya, ini pertama kalinya Elisa pergi ke kafe untuk makan. Selama ini, uang sakunya hanya cukup untuk transportasi pulang pergi naik angkot ke sekolah dan membeli sekantong jajanan di kantin yang harganya murah tapi jumlahnya melimpah, seperti keripik dan ubi goreng tepung.

Demo soal uang saku tidak akan mengubah keadaan. Daripada mendengar ibunya mengeluh tentang tagihan air dan listrik yang membengkak setiap bulannya, Elisa lebih memilih diam dan berdoa supaya segera lulus SMP, kemudian bersekolah di SMA favorit seperti Deni, kakak laki-lakinya, agar bisa mendapatkan uang saku dua kali lipat lebih banyak. Yang anehnya, Deni juga punya motor. 

Sekarang, boleh dibilang Elisa sedang menantikan saat-saat itu tiba. Beberapa hari kemarin, dia diwisuda dan agak tercengang saat menerima piagam penghargaan sepuluh besar dalam ujian akhir di sekolahnya. Ibunya terharu, tapi masih belum menampakkan tanda-tanda akan membelikan Elisa motor sebagai hadiahnya.

Erick menggeser segelas jus jeruk ke depan Elisa, "Sedang banyak masalah?"

Elisa tersenyum, menggeleng kemudian mengaduk jusnya. Setiap hari dia selalu punya masalah dengan pemikirannya yang terkadang begitu memuakkan.

Kini, dia terperangkap perasaan asing itu lagi. Perasaan rindu yang amat sangat untuk pulang—entah ke mana. Yang jelas bukan ke rumah yang sudah lima belas tahun ini ditinggalinya bersama keluarga, melainkan ke sebuah tempat yang sangat jauh.

Elisa berusaha keras untuk fokus pada Erick yang tengah menceritakan masa lalunya. Tentang kisah cintanya yang harus berakhir karena pengkhianatan sang kekasih.

"Makan," Erick menunjuk piring Elisa, karena kelihatannya gadis itu terlalu terbawa kesedihan sampai melupakan pancake-nya.

Elisa melahap potongan pancake pertamanya. Rasanya mengingatkannya pada kue ulang tahun.

Sambil makan, Erick memperhatikan Elisa. Sebenarnya, dia menginginkan sesuatu yang lebih setelah bercerita. Dia berharap Elisa tahu, kalau ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama dia tidak pernah jalan berdua dengan wanita lain. Tapi, secepat itu pula Erick sadar. Elisa bukanlah wanita. Maksudnya, belum menjadi wanita dewasa. Tampaknya, gadis di depannya juga secepat itu mengalihkan perhatian pada jus jeruk dan pizza.

Erick pun merasa cinta bukan topik yang tepat untuk saat ini. Dia kemudian berganti menanyakan, kenapa Elisa tidak pernah mau ikut lomba sekalipun semua orang tahu bahwa dia berlatih lebih keras daripada siapapun di dalam timnya.

"Aku hanya tidak siap, Kak," kata Elisa kemudian melahap potongan pancake-nya. "Juga tidak pernah ingin."

"Lalu, kenapa kau berlatih sekeras itu?" Tiba-tiba saja Erick seperti mendapat sebuah ide. "Kau melakukannya untuk menarik perhatianku?"

Elisa tersentak melihatnya. "Jadi kakak tertarik padaku?"

Pertanyaan Elisa yang terlalu polos membuat Erick lupa cara menelan makanan.

Elisa tertawa melihat ekspresi Erick yang berubah kaku. "Aku hanya bercanda!" Dia membuktikannya dengan menenggak jus jeruk dengan santai.

"Sepertinya, ya," celetuk Erick membuat Elisa lekas-lekas memandangnya.

"Ya, apa?"

Erick hanya tersenyum, melanjutkan makan. Sementara Elisa mulai merasa ada yang tidak beres di sini. Sepertinya, ini bukan acara traktiran biasa seperti yang dilakukan teman-temannya saat akan berpisah. Ini lebih seperti ....

Kencan?

Elisa merinding memikirkannya. Kalau ibunya tahu, dia bisa gagal mendapat kenaikan uang saku.

"Emm ... Kak Erick ...."

Erick kembali melihat Elisa.

Sekalipun agak ragu, Elisa memberanikan diri untuk bertanya. "Apa aku mirip alien?"

Erick tersentak. Tidak tahu harus tertawa atau menjawab jujur karena Elisa tidak terlihat sedang bercanda. Di satu sisi, tingkah Elisa memang tidak seperti anak gadis pada umumnya. Dia terlalu keras pada sendiri. Terlalu takut berbaur dengan orang lain. Terlalu berbeda dengan mata biru yang tidak orang Indonesia miliki. Dan, terlalu random memikirkan segala sesuatu. Tapi di sisi lain, dia terlihat sama seperti yang lainnya. Suka makan. Suka jalan-jalan dan suka lupa pada beberapa hal. Sangat manusiawi.

Akhirnya, Erick tersenyum simpul. "Kenapa menanyakan hal seperti itu?'

"Akhir-akhir ini, aku bermimpi tentang bintang-bintang. Terbang. Dan hal aneh lainnya." Elisa menatap pizza Erick yang tinggal separuh selagi mengatakannya—Erick sudah terbiasa melihatnya seperti itu. Sulit sekali membuat gadis itu menatap lawan bicaranya saat dia sendiri yang bercerita. Sebaliknya, jika orang lain yang bicara, dia bisa menatapnya dalam waktu yang cukup lama, seolah sedang mencari kebohongan di balik tatapan matanya.

"Lalu—" Entah kenapa Elisa menyesal menceritakannya. Bagaimana bisa dia berpikir Erick adalah orang yang tepat untuk mendengar hal ini? Erick bukanlah Anna—sahabat karibnya—yang akan menerima seabsurd apapun pemikirannya.

Lihat selengkapnya