TENAQUIN

Cassandra Reina
Chapter #3

Karakter Dalam Buku

Kaindra masih tidur di kursi belakang, ketika mobil yang dikemudikan Sandhi melaju di jalan raya pedesaan yang sepi. Sementara Alisha yang duduk di sebelahnya, memutar bulu gantungan kunci di telinga Kaindra. Dia kemudian terkekeh melihat Kaindra bergidik sambil mengusap telinga. Sekalipun Alisha mengulang aksi, Kaindra tampak enggan berpisah dengan dunia mimpinya.

“Apa dia bermimpi jadi agen rahasia lagi?” celetuk Alisha, masih tersenyum saat mengalihkan pandangan ke hamparan sawah yang menghijau di kanan-kiri jalan.

“Memangnya kenapa kalau jadi agen rahasia?” sahut Gioffany yang duduk di kursi depan di sebelah Sandhi.

“Kalau memimpikan itu, dia tidak ingin segera bangun. Hh ... apa dia merasa dirinya James Bond? Menyelesaikan rubik saja tidak bisa.”

Gioffany tertawa mendengar jawaban Alisha.

“Hei, kau juga kan?” sindir Sandhi. Ada seringai kecil di wajahnya.

“Setidaknya, aku sadar kalau aku bukan James Bond. Em ..., maksudku bukan juga Angelina Jolie,” tambah Alisha kemudian mengarahkan pandangan pada titik merah bergerak yang ditunjukkan oleh peta virtual yang ada di ponselnya—sebuah titik penanda lokasi mereka saat ini.

Alisha tersentak ketika ponselnya tiba-tiba mati. Dia menekan tombol untuk menyalakannya, tapi layar itu tetap hitam. Ditekannya lagi tombol itu selama beberapa detik lebih lama, tetap tidak ada perubahan. “Apa baterainya habis?” Dia tidak yakin, karena baterai itu terisi penuh ketika dia berangkat.

“Kenapa?” tanya Gioffani, pemilik wajah paling menggemaskan dalam geng-nya. Wajah mungil Gioffany akan sangat cantik jika dia perempuan. Alisnya rapi, matanya cokelat, bulu matanya lentik—bagian wajah yang seringkali membuat Alisha iri saat melihatnya, dan Alisha dengan jahil mengatakan, “Mungkin ibu Gioffany ingin punya anak perempuan.”. Dan selalu saja dibalas Gioffany dengan membalikkan kata-kata Alisha, “Dan ibu Alisha sangat menginginkan anak laki-laki.”

Bukannya Alisha tidak cantik. Rambut pirang panjang dengan poni samping, mata agak sipit, dan hidung mancung adalah kombinasi yang pas pada wajahnya yang mungil—lebih dari sekedar pantas untuk bisa disebut gadis cantik. Hanya saja, perangai Alisha memang seperti anak laki-laki. Memanjat pagar bersama ketiga teman lelakinya, bermain skateboard dan wall climbing adalah favoritnya. Meski begitu, dia sangat menggemari aksesori. Alisha mengoleksi banyak gelang dan kalung. Seperti yang saat ini dikenakannya, beberapa gelang tali berwarna abu-abu dan sebuah gelang dari rangkaian batu warna-warni.

“Sandhi, tempat apa ini?” celetuk Alisha, kemudian menyadari satu-satunya cahaya berasal dari lampu mobil Sandhi, sementara jalanan di luar gelap.

“Ini terowongan. Masa kau tidak tahu?” sahut Gioffany, merasa temannya benar-benar payah.

“Tapi di petanya tidak begitu, Giff. Seharusnya kita masih ada di jalan raya,” jelas Alisha, terlihat jengkel karena seperti biasanya, Gioffany selalu merasa tahu segalanya. Alisha melihat langit-langit terowongan. Yang terlihat hanya cahaya samar yang melesat—atau mobil Sandhi yang terlalu cepat, lampu-lampu di atas jadi tidak terlihat jelas?

“Benarkah?” Gioffany menoleh melihatnya. “Biar ku lihat!” Dia menanggapi dengan serius.

Alisha memberikan ponselnya pada Gioffany. “Ponselku mati. Aku sudah mencoba menghidupkannya, tapi tidak bisa.”

Gioffany mencoba menghidupkan ponsel Alisha. Dia tersenyum ketika ponsel itu menyala di tangannya. Alisha tersentak melihatnya. Tapi beberapa saat kemudian, Gioffany mulai kesal. “Tidak ada sinyal!” keluhnya.

Sandhi melihatnya sebentar. "Coba pakai ponselmu!”

Gioffany mendapati ponselnya dalam keadaan mati, dan setelah dinyalakan, mengalami masalah yang sama dengan ponsel Alisha—tidak mendapatkan sinyal.

Alisha melongokkan kepala ke luar jendela mobil, karena teramat penasaran dengan cahaya samar yang melesat di atas mobil.

“Alisha! Kepalamu bisa terbentur!” seru Sandhi ketika memergokinya melalui kaca spion.

“Memangnya kau punya cadangan kepala?” Gioffany ikut memarahi Alisha, ketika gadis itu kembali ke posisi duduknya.

“Yeah. Aku harap begitu,” sahut Alisha, kemudian mengambil ponselnya dari Gioffany. “Aku hanya ingin memastikan, apa yang ada di luar itu lampu? Dan kenapa kita bisa kehilangan sinyal di sini?”

“Dan,” Gioffany mengembalikan pandangan ke depan, “Apa kau sudah menemukan jawabannya? Tentu saja itu lampu! Kau pikir apa? Bintang? Atau kau berpikir kita sedang melewati black hole?" 

Alisha tersentak melihatnya. Sandhi juga melihat Gioffany sebentar, kemudian kembali fokus pada jalanan di depan.

Hening.

Giioffany melihat Sandhi, kemudian wajah cemas Alisha. Dia menyimpulkan, imajinasi yang terlalu liar membuat Alisha melupakan fakta bahwa black hole berada di luar angkasa, dan bukan di bumi.

“Astaga! Jika benar kita terjebak di dalam black hole, pasti sudah terjadi spaghettification!"

“Apa?” tanya Alisha, bingung. Dia tahu Gioffany yang paling pintar diantara mereka, tapi dia merasa Gioffany telah melakukan kesalahan dalam penyebutan kata, atau barangkali dengan sengaja menggunakan istilahnya sendiri untuk melucu.

Bagaimana kalau Pizzafication saja? Kedengarannya lebih enak?

“Spaghettification! Tubuhmu akan memanjang karena gravitasi yang dialami kakimu begitu besar. Kepalamu akan tertinggal, dan bisa dipastikan segera mati,” jelas Gioffany.

Alisha benar-benar berterimakasih atas penjelasan Gioffany. Karena itu membuatnya kembali pada kenyataan yang tidak selalu seburuk pikirannya. Tapi di sisi lain, dia ingin memprotes. Karena Gioffany menggunakan kata, “tubuhmu” dan “kepalamu”, bukannya “tubuh kita” dan “kepala kita”, seolah hanya Alisha saja yang akan menjadi spaghetti di sini.

“Mungkin kita akan mendapatkan sinyal setelah keluar dari terowongan ini,” ujar Sandhi, lebih berkesan melerai Alisha dan Gioffany agar tidak berdebat lebih jauh lagi.

Tapi hampir tiga menit berlalu, mereka belum juga keluar dari terowongan. Mobil Sandhi masih melaju tanpa hambatan, menembus kegelapan.

Gioffany mulai cemas setelah mengetahui, tidak ada mobil lain di belakang mereka. Hanya kegelapan sejauh mata memandang. Sebuah fakta baru yang mendukung imajinasi Alisha dalam mengembangkan pemikirannya tentang black hole, juga seberapa kuat mobil Sandhi melindungi mereka dari serangan Spaghettification.

Meski begitu, Alisha masih berharap bisa segera bangun dan melihat kamarnya yang berantakan. Kemudian menelpon Sandhi, memintanya untuk datang lima belas menit lagi karena dia terlambat bangun. Sementara mimpi buruk yang membuatnya merasa tercekik putus asa itu akan diceritakannya nanti, dalam perjalanan menuju pantai.

Sandhi menambah kecepatan mobilnya, masih optimis segera menemukan jalan keluar.

“Tempat apa ini?” tanya Gioffany. Wajahnya pucat.

“Aku yakin sudah mengikuti petunjuk dengan benar.” Alisha kembali bersandar di kursi, kemudian menghela napas panjang.

Sementara Kaindra tersenyum karena bermimpi indah. Boleh jadi dia berhasil menangkap mafia yang telah lama dikejarnya.

Sandhi, Alisha dan Gioffany akhirnya menghela napas lega, ketika melihat seberkas cahaya putih di depan. Semakin lama semakin besar. Tapi anehnya, sama sekali tidak terlihat seperti jalan keluar—hanya sebuah cahaya yang sangat menyilaukan, yang memaksa mereka untuk memejamkan mata.


*****


Terdengar melalui pengeras suara, bait-bait religius sedang dilantunkan di sebuah tempat peribadatan umat islam. Kontras dengan musik rock n roll yang saat ini diputar Deni di kamar sebelah.

Lihat selengkapnya