TENAQUIN

Cassandra Reina
Chapter #5

Amouriarre Lavincz

Lavincz masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dia menyesal telah memaksakan diri mengikuti Rynx masuk ke dalam Magon, gua yang dianggap keramat oleh bangsa Fairin. Dia berjanji akan menghukum gadis itu saat bertemu lagi dengannya nanti. Sekalipun sebenarnya, Rynx yang selalu mengingatkan agar Lavincz kembali ke istana, karena tahu siapa yang akan dihukum di sini jika terjadi sesuatu padanya. Tapi, siapa yang bisa mencegah seorang pangeran yang keras kepala?

Seberkas cahaya menyilaukan memaksa Lavincz membuka mata, melihat gadis berambut kecoklatan yang tampak semakin jelas sedang memperhatikannya. Gadis itu membawa lampu permata biru di tangan kanannya, benda yang dipikirnya akan mampu membangunkan sang pangeran.

“Kau masih hidup rupanya.” Lavincz segera menyadari siapa yang biasa melontarkan kata-kata seperti itu. Siapa yang bisa mengejek pangeran Tenaquin?

Lavincz kemudian bangun, melihat adik perempuannya duduk di kursi dengan buku tebal berwarna hijau di tangannya. Dia berharap adiknya tidak mengutip kata-kata dari buku untuk menasihatinya kali ini. Buku para Filsuf adalah yang paling tidak dia sukai. Untuk apa memikirkan semua hal dengan sangat detail? Semua seperti omong kosong.

“Kau selalu pergi ke manapun dan menolak pengawalan khusus. Sampai kapan kau tidak bisa menerima kenyataan bahwa kau adalah seorang pangeran?” celoteh Elein, sementara matanya masih tertuju pada barisan kata di buku di pangkuannya.

“Kau harapan terbesar Ibu, tidakkah kau tahu itu? Kau seharusnya bersyukur, terlahir sebagai laki-laki yang paling dilindungi di negeri ini."

“Dan kau menyesal hanya terlahir sebagai perempuan yang tidak berhak atas kekuasaan yang bahkan belum kumiliki?”

Elein tersentak kesal, melihat Lavincz yang kini mengusap wajah, masih mengantuk.

“Tidakkah kau menyadari usiamu baru sepuluh tahun?” Lavincz kini menatap Elein. “Gaun dan rambut seperti itu sangat tidak cocok untukmu.”

Elein tahu betul hanya orang dewasa yang menyanggul rambut dan memakai warna-warna gelap pada gaunnya. Dan gaun berwarna merah kecokelatan yang dikenakannya ditujukan untuk memberi penghormatan pada musim gugur yang sebentar lagi pergi, sama seperti yang dilakukan Fairin kuno lainnya. Ya, kuno adalah kesimpulan dari sindiran Lavincz. Tidak masalah baginya, karena dia memang sangat menyukai segala sesuatu yang tampak kuno. Yang menjadi masalah di sini adalah, Lavincz mengiranya menginginkan takhta untuk memimpin kerajaan. Elein tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Seandainya diberi pilihan, jauh lebih baik jika dia menjadi penasihat kerajaan yang bisa selalu menasihati raja yang liar seperti Lavincz. Mungkin itu akan tampak melelahkan, tapi Elein sangat suka berguna bagi orang lain. Tidak seperti Lavincz yang selalu memikirkan dirinya sendiri.

Tapi melihat apa yang terjadi pada kakaknya saat ini, membuat Elein mendapatkan pemikiran baru, Lavincz tidak memikirkan keselamatannya sendiri. Ada orang lain bersamanya dalam gelapnya Magon yang konon akan membuat siapapun tercekam, menahan napas.

“Kenapa kau peduli dengan gadis petarung itu?” tanya Elein penasaran.

“Karna dia temanku?” jawab Lavincz santai, sambil menuangkan air dari teko keramik ke dalam gelas.

“Aku memang tidak pernah punya teman, tapi aku tahu, kau dan dia tidak bisa disebut teman,” sanggah Elein.

“Bagaimana seseorang yang tidak pernah punya teman bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Setidaknya, aku akan memercayai kata-katamu itu setelah kau memiliki satu orang saja yang bisa kau sebut sebagai teman, Tuan Putri.” Lavincz mengangkat gelasnya sambil menyeringai, melihat wajah putih Elein berubah merah padam karena kesal.

Elein menutup buku dan bangkit dari duduknya. “Aku tidak akan pernah mencari teman," kata Elein kemudian melangkah pergi. Gaun panjangnya menjuntai ke lantai marmer, menyembunyikan kaki mungilnya yang selalu menapaki Istana Utama tanpa memakai alas kaki—salah satu kebiasaan Fairin kuno juga agar bisa panjang umur.

"Terima kasih sudah berkunjung!". Lavincz tahu Elein bermaksud baik, sekalipun kadang terlalu gengsi untuk mengatakan, bahwa sebenarnya dia khawatir dengan kondisi kakaknya.


*****


Malam itu, Elisa memutuskan keluar dari basis petarung Tenaquin, meninggalkan Ceerk yang terlelap. Dia hampir tidak bisa berpikir jernih di dalam kamar sempit dengan ranjang susun dan lubang ventilasi berukuran kecil. Lampu permata yang menempel di dinding adalah satu-satunya benda yang dikaguminya di sana.

Tapi, udara segar di luar basis petarung lebih dari segalanya sekarang. Dari tempatnya berdiri, Elisa bisa melihat kemegahan Istana utama Tenaquin yang tampak berkilauan karena cahaya permata. Tak jauh di belakang istana, berjajar ratusan pohon berkayu merah setinggi tiga ratus meter. Pepohonan itu membuat bangunan di sekitarnya tampak kerdil.

Mengagumkan sekaligus menyeramkan.

Pohon-pohon itu tampak seperti monster dalam kegelapan.

Rumput di sini sangat menyegarkan, aromanya seperti daun mint. Elisa kembali menghela napas dalam yang melegakan.

Jika benar istana itu adalah tempat tinggal pangeran tampan dan ratu yang senantiasa kesepian ....

Elisa merasa pernah melihat tempat ini sebelumnya. Tapi ingatan itu sangat jauh. Tidak banyak yang bisa dia lakukan untuk menjangkaunya.

Gadis itu kini terpana melihat bintang-bintang di langit yang baru disadarinya berjarak lebih dekat dari yang biasa dia lihat. Kabut berwarna kemerahan menggantung di beberapa sisi langit. Bercampur dengan warna biru cerah yang indah. Elisa pernah melihat kabut jenis itu dalam foto yang melengkapi artikel tentang luar angkasa—Kabut trifid. Kabut pembentukan bintang-bintang. Bagaimana bisa terlihat dengan sangat jelas dari sini? Tapi, dia tidak bisa menemukan bulan di sisi manapun. Hanya awan-awan putih bercahaya di sekitar gugusan bintang.

Ini benar-benar langit malam paling meriah yang pernah dilihatnya.

Lihat selengkapnya