TENAQUIN

Cassandra Reina
Chapter #7

Pelintas Dimensi

Arxel tersentak, sementara Elisa masih tidak habis pikir. Pangeran itu mengambil kesimpulan sekenanya seolah dia tahu, Rynx berpura-pura hilang ingatan agar setidaknya sekali seumur hidup merasa lega sudah pernah menyatakan perasaannya terhadap Arxel. Kemudian, berlagak menemukan kembali ingatannya setelah Arxel memberikan jawaban, apapun itu. Dan sebagai teman yang baik—sekalipun Rynx tidak pernah memercayainya—Lavincz ingin membuktikan bahwa dia layak untuk diberi kepercayaan.

Tak lama kemudian, Lavincz membuka pintu, melihat Arxel dan Elisa masih terpaku. "Arxel."

Yang dipanggil tampak serius memerhatikan, begitu juga gadis di sampingnya.

"Kau tidak perlu khawatir dihukum. Aku yang akan memastikan semuanya baik-baik saja," lanjut Lavincz, kemudian kembali menutup pintu. Dia tahu ada larangan keras untuk para petarung saling jatuh cinta. Jika ada yang melanggar, maka hukumannya adalah dikeluarkan dari istana.

Sungguh, jika itu untuknya, Lavincz akan menerimanya dengan senang hati. Dia sudah bosan tinggal di istana. Dia bahkan sudah merencanakan tempat terbaik untuk sahabatnya jika sampai hal buruk terjadi—sebuah rumah yang hangat di daerah Vans, tidak begitu buruk. Lavincz diam-diam pernah mengajak kudanya yang bernama Pixie untuk mencoba rumput segar di sana. Pixie menyukainya, sama seperti Lavincz yang menyukai air terjunnya. Sejenak terlintas di pikiran Sang Pangeran untuk terlibat cinta terlarang, jika saja Rynx tidak jatuh cinta pada Arxel. Tapi, Lavincz bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak.

Sementara itu di dalam ruangan, Arxel sudah duduk menghadapi meja. Elisa berdiri di sampingnya seperti seorang murid yang menunggu pekerjaan rumahnya diperiksa oleh guru.

"Aku tidak mau membacanya."

Elisa tersentak saat Arxel kembali melihatnya.

"Aku ingin kau mengatakannya secara langsung." Arxel tidak pernah merasa setampan itu sekalipun dia yang paling banyak menerima surat cinta dari juniornya—yang berakhir dengan diskualifikasi junior sebagai petarung istana. Tapi, kali ini sang pangeran sendiri yang menjamin keamanannya. Dia jadi tahu siapa yang mencintai siapa di sini. Sebab kata orang, cinta adalah sesuatu yang butuh pengorbanan. Tidak peduli sekalipun perasaan sendiri yang harus dikorbankan.

"Aku bukan Rynx. Bagaimana mungkin aku mengatakannya?"

Arxel tersentak, tidak mengerti.

"Aku sendiri tidak tahu, kenapa orang-orang memanggilku dengan nama itu."

Arxel segera mengambil amplop surat di meja, merobek ujungnya, kemudian mengeluarkan selembar surat di dalamnya.

Tulisan tangan dengan tinta berwarna biru pada kertas itu menyala di bawah cahaya lampu permata.

Jangan mencariku kecuali kau percaya kata-kataku.

Arxel tidak habis pikir. Gadis ini membuat ulah lagi.

"Apa yang dikatakan Rynx?"

Arxel segera melihat Elisa. Dan gadis ini ....

Manusia ....

Jika bisa melihatnya. 

Kau tidak akan menemukan perbedaannya dengan Fairin, kecuali kau memiliki bakat khusus.

Tidak semua manusia itu jahat.

Tidak seperti yang tertulis dalam buku-buku.

Ibuku yang mengatakannya. 

Aku memercayai kata-katanya seperti kita semua memercayai mimpi adalah pertanda.

Suara Rynx muncul ke permukaan ingatan Arxel.

Elisa ikut membaca surat Rynx, kemudian tersentak saat Arxel berdiri menatapnya. "Apa maksud semua ini?"

Arxel masih memerhatikan Elisa. "Sesuatu yang gila. Tentang manusia."

Elisa tercekam. Manusia?

"Ya. Rynx selalu percaya ada kehidupan lain di luar sana. Dia percaya adanya manusia."

Tiba-tiba saja kaki Elisa seperti lumpuh. Apa maksudnya Rynx bukan manusia?

"Kau apa?" Suara Elisa hampir tidak terdengar oleh Arxel.

Arxel menangkap perasaan takut dari wajah Elisa. Dia hampir tidak bisa memercayainya. Sama sulitnya saat mencoba memercayai semua omong kosong Rynx. "Apa maksudmu? Seharusnya aku yang bertanya. Apa kau manusia?"

"Tentu saja aku manusia." Elisa mengeraskan suaranya. "Kau pikir apa?" Pertanyaan selanjutnya terkesan tidak menginginkan jawaban.

Lihat selengkapnya