Sega. Arxel baru ingat. Pangeran Lavincz benar. Kalau Rynx tidak main-main dengan semua ini, pasti dia membawa yang paling berharga bersamanya.
Sega adalah kuda jenis pelari berwarna abu-abu yang berasal dari Maurentinn. Tingginya hampir menyamai Rynx, sekitar 159 cm. Rynx merawatnya sejak tinggal di Anredera bersama ibunya. Kuda itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Rynx. Tapi, malam ini di saat kuda-kuda yang lain tidur, Sega masih berdiri tegak namun gelisah.
"Seharian ini dia tidak menghabiskan jatah rumputnya," kata seorang ostler istana pada Lavincz. Wajah lelaki tua bernama Tinno itu hampir sama gelisahnya dengan Sega. Tiga puluh tiga tahun menjadi penjaga membuatnya memiliki ikatan batin yang kuat dengan kuda-kuda istana. Sekalipun waktu yang dihabiskannya bersama Sega tergolong baru, Tinno sangat menyukai keramahan Sega.
Karena Sega tergolong punya stamina yang cukup bagus, dan hampir tidak pernah terserang penyakit musiman, Tinno sebenarnya bisa menebak apa yang terjadi pada kuda itu. Tapi, menyadari posisinya sebagai pelayan istana, dia jelas tidak berani beropini sembarangan, apalagi saat berhadapan dengan pangeran. Sekalipun Lavincz jauh lebih ramah dari Sega, Tinno tetap menjaga jarak yang aman dengannya.
"Tapi, aku sudah memberinya ramuan dari tabib istana. Barangkali kondisinya memang sedang tidak sehat."
"Sepertinya bukan sakit seperti yang kau duga." Akhirnya Arxel yang mengatakannya. "Kapan terakhir Rynx mengunjunginya?"
Tinno dengan segera menjawab, "Ujian memanah sambil berkuda, seminggu yang lalu, kurasa?"
Arxel lalu melihat Lavincz yang terdiam. Dalam pikirannya, Lavincz masih tidak bisa menerima yang ada di sampingnya saat ini adalah Rynx palsu.
Arxel meraih tangan Elisa. Dengan terkejut Elisa mengikuti Arxel, dengan hati-hati mengusap puncak kepala kuda itu. Segera saja Sega mengibaskannya, marah.
Elisa mengerti bahwa sebenarnya Arxel belum sepenuhnya yakin tentangnya. Akhirnya, dia mencobanya sendiri, mengusap kepala Sega. Kali ini sambil menatap lembut mata kuda itu. Tapi Sega lebih marah dari sebelumnya. Dia meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya, mengejutkan teman sekandang yang sedang tidur.
Lavincz masih tidak ingin memercayainya. Jika benar gadis itu bukan Rynx, di mana Rynx asli sekarang? Dan apa yang dilakukannya tanpa teman di luar sana?
Sega memang ramah, tapi tidak dengan orang asing yang baru ditemuinya, setidaknya sampai dua hari sambil mengamati bagaimana sikap orang itu padanya. Hal ini membuat Arxel sepenuhnya percaya, Elisa tidak berbohong.
Kini, mereka meninggalkan Tinno dengan kuda-kuda, menuju gazebo tempat di mana para pemilik bakat biasa bersantai setelah berlatih.
Gazebo itu puluhan jumlahnya. Bentuknya seperti sangkar burung dengan empat penyangga. Tingginya empat meter dengan diameter setengahnya. Atapnya berbentuk kubah. Pada acara seleksi bakat, sangkar ini tertutup oleh jeruji besi yang mengelilinginya.
"Peserta akan masuk untuk mengambil benda-benda yang melambangkan bakat tertentu. Pedang untuk para Petarung, buku untuk para Filsuf, kalung batu saphire untuk Cenayang, gitar untuk Seniman, dan mahkota peri untuk pemilik Bakat Alam," jelas Arxel saat Elisa bertanya mengapa ada lukisan benda-benda di dalam langit-langit kubah.
"Jadi, bisa mengambil sesuka hati?" tanya Elisa antusias. Biasanya, ini jam dia terlelap dengan segala mimpi menyeramkan di rumah. Tapi di sini, dia terusik dengan fakta-fakta aneh yang menarik perhatiannya sehingga mata birunya tetap menyala, seolah menginginkan Arxel menjelaskan semuanya tentang istana Tenaquin.
"Kalau kau bisa mengambil semuanya, boleh saja."
Lavincz akhirnya bisa tertawa juga mendengar kata-kata Arxel. Kemudian dengan senyum manisnya dia melihat Elisa. "Benda-benda itu sakral. Hanya bisa diambil kalau kau punya getaran yang sama dengannya. Setiap diri kita memancarkan energi, benda-benda mati sekalipun. Energi yang sama akan selalu tarik menarik. Dan benda-benda yang digunakan saat seleksi bakat, memiliki energi yang besar karena dibuat dengan sangat cermat dan mendapat berkah para peri."
Elisa hanya bisa terpaku, kagum mendengar kata peri disebut. Sekarang, dia merasa benar-benar bahagia jikapun berada di tempat antah berantah. Ada pangeran dan peri. Dia berharap tidak ada penyihir jahat diantara mereka.
"Dan kenapa ada jeruji yang mengelilinginya?" tanya Elisa lagi.
"Sebenarnya, hanya tanganmu yang boleh masuk. Kau tetap di luar sambil meraih benda yang diletakkan di tengah sangkar."
"Bagaimana bisa? Jaraknya lumayan jauh." Elisa mencoba menghitung jarak dari lingkar terluar ke tengah sangkar. Belum sempat Lavincz menjawab, Elisa tiba-tiba teringat pada Candi Borobudur yang dulu didatangi Deni—sebenarnya, setiap murid kelas enam di SD-nya dulu pasti akan mengunjungi situs bersejarah itu seminggu setelah Ujian Akhir Nasional dalam acara studi wisata. Entah, bagaimana guru-guru di sana tidak bosan menemani murid-muridnya ke tempat yang sama setiap tahunnya. Semua karena studi wisata ke Jogja dan sekitarnya lebih murah dibanding ke pulau dewata, Bali.
Dan ada mitos tentang Candi Borobudur. Tentang Siapapun yang bisa menyentuh arca yang ada di dalam stupa, maka cita-citanya bisa terkabul. Terkadang, orang dewasa pun bisa dikalahkan dengan anak TK yang tangannya jauh lebih pendek. Elisa sendiri hanya bisa menyentuh jari kelingking kaki patung Buddha itu. Apa tidak ada yang lebih baik lagi? pikirnya saat itu. Sekalipun dia tidak terlalu percaya denga mitos, melihat seorang teman yang bisa menyentuh telapak tangan patung itu, dia ingin juga. Seperti sebuah pencapaian besar yang menyenangkan untuk anak seusia mereka. Mendengar cerita Lavincz tentang sangkar raksasa ini, tidak sulit untuk memercayai jika benda di tengah sangkar bisa diraih dengan mudah tidak peduli seberapa pendek tanganmu.