SAGA akhirnya ditemukan Arxel dalam keadaan tak bernyawa dan bagian tubuhnya tidak lengkap.
Sementara Elisa muntah-muntah di dekat pohon yang jauh darinya, Arxel masih mencoba mencari sisa-sisa petunjuk di sekitar Saga. Tapi melihat potongannya yang sangat halus pada beberapa bagian, Arxel bisa memastikan siapa yang melakukan mutilasi itu.
Elisa kembali setelah membersihkan diri di danau. Karena tahu Elisa tidak akan mampu melihat mayat Saga. Arxel memutuskan untuk menguburkan Saga sendiri. Dia mencoba meredakan rasa bersalah Elisa dengan memintanya memetik sekeranjang bunga untuk ditaburkan di atas makam.
Sungguh. Wangi bunga berwarna kuning yang hanya memiliki tiga kelopak kecil itu mampu meredakan mual juga mengobati kecemasan Elisa. Kini, dia dan Arxel menaburkan bunga itu di atas kuburan Saga. Arxel memberi sebatang kayu di puncaknya sebagai penanda.
"Tidak ada pembunuh yang lebih kejam dari prajurit Athreea," kata Arxel saat dia dan Elisa telah kembali duduk di pos jaga. Dia masih memikirkan siapa yang telah membunuh Saga—mereka masih belum bisa menemukan Jouvarick.
"Mereka memotong-motong tubuh korbannya dan tidak jarang—aku harap kau tidak mual lagi harus mendengarnya—"
"Memakannya?" tebak Elisa.
Arxel tidak terkejut karena Elisa barangkali memang berbakat cenayang. Dan selain bisa melihat masa depan, dia memiliki kemampuan aneh seperti menebak kata-kata yang akan diucapkan orang lain?
"Di dunia manusia juga ada yang seperti itu," lanjut Elisa. "Mereka disebut Kanibal."
Arxel mengerti sekarang. Tapi di dunia fairin julukan itu adalah DracHeirr. Drac untuk fairin yang memiliki sifat seperti Draco, makhluk jahat yang konon telah lama berkeliaran untuk menyesatkan pikiran para Fairin. Sementara Heirr adalah lawan dari Haven. Jika Haven adalah tempat berkumpulnya roh para fairin berhati permata bak peri. Maka Heirr dalah tempat pembuangan roh para fairin berperangai buruk seperti Draco. Heirr dalam gambaran para cenayang adalah tempat penyiksaan yang penuh api dan mengerikan.
Meski tertarik untuk menjelaskannya pada Elisa, kini Arxel hanya diam sebab kesedihannya belum hilang. Dia tahu waktunya tidak banyak dan hanya akan menjelaskan hal-hal penting saja untuk saat ini.
"Prajurit Athreea seperti dilahirkan untuk membunuh. Mereka menguasai berbagai macam senjata terutama pedang saat fairin lain pada umumnya masih belajar membaca. Didikan mereka sangat keras."
Elisa merasakan kengerian menjalarinya, memikirkan makhluk semacam itu berkeliaran di sekitarnya. Menunggu dalam gelapnya hutan, atau bersembunyi entah di mana hingga bisa terlewatkan oleh penjagaan Tenaquin.
"Kebanyakan dari mereka diterjunkan ke medan perang di usia tiga belas tahun. Dan saat itu mereka sudah setangguh orang dewasa." Saat usianya tiga belas tahun, Arxel baru serius menekuni area pertarungan, lebih tepatnya setelah lolos Seleksi Bakat Istana. Sekarang usianya sudah tujuh belas tahun, tahun pertama di mana ketekunan itu membuahkan hasil—di awal Capricorn* dia diberi tanggung jawab memimpin Pasukan Putih.
"Dan tidak banyak pilihan yang ada jika kau laki-laki dan tinggal di Athreea. Berperang atau membuat senjata perang. Hanya itu," jelas Arxel. "Tapi aku tetap tidak mengerti apa yang membawa serangan itu kemari malam ini. Tenaquin bukanlah musuh Athreea. Meski hubungannya tidak juga sedekat itu."
Arxel kemudian beranjak mengeluarkan chaerlion dari sangkar. Hewan itu terlatih dan sama sekali tidak memanfaatkan kesempatan untuk kabur, melainkan bertengger di lengan Arxel, lalu melompat ke tas di dekatnya. Saat Arxel menyampaikan pesan yang harus dibawanya, Chaerlion kecil itu mendengarkan sekaligus merekam dalam memorinya. Dia ingin hewan itu menyampaikan apa yang baru saja menimpa pasukannya pada Kapten Seelar. Chaerlion itu harus mengulang pesan dua kali sebelum membawanya pergi.
"Dia benar-benar pintar," celetuk Elisa datar saat chaerlion kecil itu membumbung tinggi, melesat di antara pepohonan, menuju Istana Tenaquin.
Bunga-bunga Winchsky menguncup menyadari matahari mengintip dari timur. Bunga-bunga itu akan mekar lagi nanti setelah hari gelap.