GIOFFANY TIDAK TAHU rasanya mati. Tapi sungguh keadaannya saat ini mungkin yang paling dekat dengan kematian itu sendiri. Bahkan naik roller coaster-pun tidak sepusing ini! Rasanya seperti setiap kali mobil Sandhi berputar mengikuti arus—Gioffany menyebutnya mirip revolusi Bumi—yang mengelilingi matahari sambil terus berotasi. Pusaran ini adalah garis orbitnya—dengan catatan ratusan kali lebih cepat dan mobil Sandhi tidak memiliki gravitasi sehingga jika saja sabuk pengamannya tidak cukup kuat barangkali mereka sudah saling menabrak dan mati sungguhan. Sayangnya sekarang mati bahkan tidak semudah itu.
Ketika gerakan mobil Sandhi sudah mulai berkurang, Gioffany pikir mungkin mereka justru mendekati puncaknya. Bahkan dalam keadaan sepusing itu dia masih sempat mengharapkan meteor datang menghancurkan mobil Sandhi menjadi berkeping-keping—barangkali yang ditangkap pengamat di bumi dari balik teleskopnya saat itu adalah munculnya asteroid baru. Tapi melihat bagian belakang mobil Sandhi hancur tanpa suara, mereka bahkan tak akan punya kesempatan untuk menjadi kepingan. Empat remaja yang juga tidak mampu bersuara saking lemahnya, hanya bisa menunggu apapun yang menghancurkan mobil Sandhi menghancurkan mereka juga. Pada detik ini Gioffany ingin meralat perkatannya, Surga juga boleh.
*****
Malam itu benar-benar dingin, tapi Loui harus tetap berada di hutan untuk mengikat batang-batang pohon hasil tebangannya ke kereta kuda, lalu menariknya menuju rumah. Tapi tiba-tiba saja konsentrasinya terpecah oleh kilatan cahaya dari arah bukaan hutan. Loui pergi memeriksanya.
Terlihat olehnya di dekat pohon paling besar—sebuah kereta termewah yang pernah dia lihat. Dia menyebutya kereta karena benda itu memiliki empat roda, meski sebenarnya tanpa kuda akan lebih cocok disebut gerobak. Tapi tidak ada pegangan untuk mendorongnya. Penghuni kereta di dalamnya tertidur pulas. Tapi saat Loui menatapnya lekat-lekat dari jendela kaca, sepasang mata terbuka, membuatnya segera mundur.
Alisha melihat sekeliling, lalu mencoba membangunkan Sandhi, tapi malah Gioffany yang bangun.
"Sudah berhenti?" celetuk Gioffany. Setelah membenarkan posisi duduk sambil mengamati keadaan sekitar dia berkomentar, "Pendaratannya sempurna juga. Kukira kita akan sampai dengan posisi terbalik."
Saat Sandhi dan Kaindra akhirnya terbangun, Loui sudah bersembunyi di balik semak-semak. Postur yang tinggi agak menyusahkannya, tapi dari tempatnya bersembunyi sekarang, Loui bisa mengintip empat remaja yang kini keluar dari kendaraannya. Yang paling tinggi diantara mereka, berambut pendek kemerahan, tampak frustrasi melihat roda kendaraannya yang rusak terkena batuan tajam.
"Sial," keluh Sandhi.
Gadis yang sejengkal lebih pendek darinya tampak ikut melihat. "Kau tidak bawa cadangan?"
Sandhi menggeleng. "Tidak terpikir sampai ke sana."
Laki-laki yang memakai topi terbalik, berambut cokelat pendek, cemas melihat hutan di sekitarnya. "Aku sudah memeriksa petanya berulang kali sebelum menekan "Go"." Gioffany kemudian melihat Sandhi. "Mungkin mobilmu agak bermasalah karena tekanan gerbang dimensi jadi kita tidak mendarat tepat di istananya."
Istana? Melihat keadaannya, barangkali sekelompok remaja di depannya butuh bantuan. Loui hanya ragu, apakah mereka musuh atau sekutu. Karena keamanan Tenaquin kini sedang ditingkatkan yang paling mungkin ada sedikit ancaman dari luar. Dia tidak bisa asal memercayai orang sekarang, jadi dia memutuskan untuk terus mendengarkan.
"Bagaimana kalau periksa petanya sekali lagi. Siapa tau tidak terlalu jauh dari tujuan kita," ujar Kaindra membuat Gioffany segera memeriksa peta virtual di perangkat milik Paman Alfa. Ketiga temannya ikut melihat.