"DI MANA MEREKA BERENDAM? Di sungai berlumut??" Gioffany sekali lagi berkumur. Kali ini dia merasa sangat bodoh karena tidak tahu akan hal itu. Dia memuntahkan lagi air dari mulutnya, kemudian pandangannya silau oleh sinar bintang yang masuk melalui jendela bundar kamar mandi.
Dari tempatnya berdiri sekarang, Gioffany bisa melihat lautan luas yang berkilau keperakan. Dia terpana. Melupakan rendaman kaki peri yang tadi diminumnya.
Sementara itu di ruang tamu, Loui menarik Ibunya ke satu sudut.
"Ibu, jangan membicarakan masalah harga dengan mereka. Aku tidak bilang punya penginapan."
Sang Ibu menghela napas panjang. "Tapi, mereka banyak sekali."
"Hanya empat orang."
Sansha terlihat tidak rela. Seleksi Bakat Istana adalah musim di mana seharusnya mereka meraup banyak uang dari orang asing yang berbondong-bondong menginginkan tempat di dalam istana. Dia kembali melihat keempat tamunya.
"Loui..., apa dia juga teman barumu?" Sansha kemudian terpaku saat Kaindra menurunkan syal yang sebelumnya menutupi mulut dan hidungnya.
"Ya. Dia sangat mirip dengan Pangeran Lavincz ya?"
Sansha tersentak melihat Loui. "Kau yakin dia bukan pangeran??" Dia kembali melihat Kaindra yang kini menyesap rendaman kaki peri.
"Hey, Giff! Bukan benar-benar kaki peri yang direndam. Ini terbuat dari tanaman peri yang tumbuh di sekitar mata air gunung Spixy." Kaindra nyaris tertawa lagi.
Gioffany tampak tidak peduli saat kembali ke tempat duduknya. "Memangnya tidak ada nama yang lebih sopan dari kaki? Mereka kan bisa menyembutnya minuman peri atau apa." Dia menghela napas, tidak habis pikir.
"Atau mungkin memang saat malam tiba masih ada peri yang datang merendam kakinya di situ?" ujar Kaindra santai.
Loui tersenyum melihatnya. "Tentu saja bukan. Teman-temannya memanggilnya Kaindra," jelasnya pada Sansha.
"Kalau begitu, terserah kau saja. Ini kan penginapanmu. Mana mungkin Ibu mencegahmu memberikan kamar gratis untuk mereka."
Loui tersenyum saja. Dia tahu ibunya adalah salah satu penggemar pangeran Tenaquin yang terkenal dengan ketampanannya.
"Kalau begitu, apa bakat kalian?" tanya Loui saat bergabung di meja makan, sementara ibunya menyiapkan makanan di dapur.
"Bakat?" Kaindra memakan sepotong roti madu. "Kenapa kau ingin tau soal bakat?" Sandhi menghela napas, merasa perlu segera mengambil alih pembicaraan.
"Kaindra berbakat musik."
Loui segera melihat Sandhi, kemudian menatap kagum Kaindra. "Menarik sekali."
"Alisha sangat suka mengoleksi batu. Dan Gioffany sangat pintar. Kurasa tidak ada yang tidak bisa dia lakukan."
Gioffany tampak tidak keberatan. Senyumnya mengembang alami. Sementara Alisha kelihatannya terpaksa. Mengoleksi batu? Sejak kapan itu masuk kategori bakat? Tapi, entah bagaimana bisa Loui tidak mempermasalahkannya. Dia justru menanyakan bakat Sandhi. Berlangganan majalah otomotif, kalau Alisha diizinkan untuk bicara, dia pasti mengatakannya.
"Aku .... " Sandhi menggaruk kepalanya, hal yang tidak pernah dilakukannya saat bicara sebelumnya. Dia sangat tegas dan terkenal tidak suka basa-basi. Dia hanya terpikir untuk melakukannya saat melihat Kaindra. "Sebenarnya hanya mencoba keberuntungan."
"Terlalu rendah hati." Loui menenggak minumannya. "Aku akan ikut seleksi pengrajin."
Tidak aneh, pikir Gioffany. Furniture di rumah ini sangat unik. Berupa pahatan dan ukiran rumit. Sementara Kaindra hanya diam memandang satu per satu temannya. Dia sekarang tahu apa maksudnya.
"Keretamu itu..." Loui melihat Sandhi. "Maksudku, kendaraanmu pasti sangat mahal. Di mana kau membelinya?"
"Di—" Sandhi kembali gugup.
"Kota Kastil. Kalau aku boleh menebak?" Sansha menghidangkan sup-sup di meja. "Mereka selalu punya barang-barang bagus, kan?"
"Ah. Ya. Aku baru saja ingin mengatakannya!" Sekali lagi Sandhi menampilkan wajah bodohnya.