Langit semakin gelap, ketika mereka hanya melihat atap sangkar yang berbentuk kubah. Membutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencapainya, dengan beberapa kali berjalan menyimpang dari jalur yang sudah direncanakan saat mereka melihat orang-orang yang berpakaian sama mewahnya melintas. Tentu saja Kaindra sama sekali tidak siap dengan pembicaraan apapun jika sampai salah satu dari orang itu mulai bertanya yang aneh-aneh. Mereka juga beristirahat sejenak di tempat yang aman, menghabiskan air dari kantong minum.
Kini, dalam jarak yang lebih dekat, mereka bisa melihat sangkar raksasa itu adalah bangunan bertembok merah dengan satu pintu kecil di bagian depan yang mengingatkan siapapun pada penjara. Tidak ada jendela sama sekali.
Bersama Kaindra, mereka percaya diri saat melewati pintu yang kini terbuka. Tapi meja jaga itu kosong. Sehingga keempat remaja itu bisa melewatinya dengan lebih mudah lagi, menuju pagar pembatas antar ruang depan dengan lahan hijau tempat belasan pohon rindang tumbuh seolah tak terpengaruh cuaca. Inilah sangkar yang sebenarnya. Terdiri dari jeruji besi dari tanah hingga ke langit-langit ruangan. Tak ada daun berserakan di sekitar pepohonan di dalamnya. Tidak seperti di luar. Dan yang membuat mereka terenyak adalah tidak ada suara apapun di sana. Ke mana semua chaerlion yang pandai bicara itu?
Jawabannya segera Alisha temukan dari pintu sangkar bagian dalam yang terbuka. "Mungkinkah semuanya sedang bertugas?"
Kaindra menyentuh pintu besi. Terlihat olehnya dua penjaga berkeliaran memeriksa keadaan, lalu di waktu yang lain seorang wanita membuka pagar itu, membuat bunyi-bunyian dengan mulutnya, sehingga puluhan chaerlion mendekat. Wanita itu mengambil satu di antara mereka, lalu menyerukan sesuatu yang membuat chaerlion lain berbondong-bondong keluar dari sangkar, terbang melewatinya.
"Seorang wanita melepaskan semuanya," kata Kaindra setelah membuka lagi matanya.
"Dari mana kau tahu?" tanya Gioffany.
"Psikometri." Kaindra menjelaskan. "Aku baru melatihnya beberapa kali. Ternyata tidak sesulit itu melihat memori sebuah benda."
"Benda memiliki memori?" Gioffany tidak mengerti.
"Ya. Barangkali kita hanya tidak tahu di mana mereka menyembunyikan matanya," gurau Kaindra.
Mereka tidak punya pilihan selain meninggalkan bangunan itu, menyusuri dinding luar sangkar, melewati dapur istana, kemudian berbelok ke kiri. Kali ini Kaindra menutupi mulut dan hidung lagi dengan syal, bukan karena takut ada yang memergoki wajah tampannya yang mirip Pangeran Lavincz, tapi dia memang suka melakukan hal-hal iseng seperti itu.
Saat bunyi lonceng menara menggema di barat Istana Utama. Sandhi dan keempat temannya kini duduk di bangku panjang sambil memperhatikan sekitar. Sepi.
"Untuk apa lonceng itu?" tanya Kaindra.
"Mungkin waktunya makan malam," jawab Gioffany. Terkadang dia bisa juga bercanda. Istana Tenaquin dan seluruh ide Sandhi mencari pamannya membuatnya bosan saat ini. Dia jadi berpikir lagi, apa sebenarnya yang telah diberikan Paman Alfa selama ini sehingga Sandhi merasa perlu mengkhawatirkan dan mencarinya? Bahkan sampai mempertaruhkan nyawa. Atau Sandhi memang suka saja mengambil tanggung jawab seperti itu dalam hidupnya? Gioffany tidak tahu, dan terlalu lelah untuk menanyakannya sekarang.
Sementara pandangan Alisha tertuju pada bangunan tinggi di seberang. Jendela-jendela setengah lingkaran di sisi bangunan menampilkan rak-rak yang menjulang tinggi di dalam ruangan itu. Alisha tidak bisa melihat apa isinya. Tapi dia ingin tahu dan mengusulkan pergi ke sana.
"Dan apa yang kita katakan jika seseorang bertanya?" tanya Gioffany. Dia membutuhkan pengarahan singkat karena tidak sepintar Kaindra dalam urusan akting.
"Biar pangeran kita yang menjawabnya," Alisha melirik Kaindra yang tampaknya terlalu lelah untuk memikirkan segala hal.
"Jangan aku lagi," protes Kaindra, sambil membenamkan wajah di ransel Gioffany yang ada di pangkuannya. Dia satu-satunya yang tidak membawa ransel untuk menghindari kecurigaan. Barang-barangnya ada di ransel Sandhi dan sebagian lagi di ransel Gioffany.
Jelas dia mengantuk, pikir Alisha. Jalan-jalan bukanlah hal yang disukai Kaindra dan hari itu mereka sudah menjelajah seperempat dari Komplek Istana Tenaquin. "Tapi kita butuh tempat bermalam."
"Kalau begitu kita tidak perlu menjawab siapapun, kan?" Kaindra duduk tegak lagi. "Kita hanya perlu melakukannya diam-diam. Menyusup entah ke mana." Matanya memperhatikan bangunan itu dari jauh. Matanya tidak setajam telinganya, tapi dia tidak yakin teman-temannya tidak melihat pintu yang setengah terbuka itu.
Beberapa saat kemudian, Sandhi, Alisha, dan Gioffany mengikuti Kaindra, menyelinap melewati pintu itu diam-diam. Mereka terpana melihat ruangan itu berpendar kebiruan. Cahaya permata di setiap sudut ruangan menimpa benda-benda di sekitarnya—rak-rak berisi buku-buku, dua meja panjang yang dikelilingi kursi.
Perpustakaan Istana! pekik Gioffany dalam hati. Tidak diragukan lagi, buku-buku itu telah menguapkan kebosanannya.
Terdengar langkah kaki dari suatu tempat di depan mereka. Segera saja Sandhi menarik teman-temannya untuk bersembunyi di ruangan terdekat. Kaindra sebisa mungkin menutup pintu dari dalam tanpa menimbulkan suara. Saat itu Sandhi nyaris bersuara melihat lubang besar di lantai yang hampir dipijaknya. Dia segera menjaga jarak dari lubang itu dan memperingatkan yang lainnya dengan gerakan tangan. Teman-temannya menganguk.
Alisha meraih ujung syal Kaindra untuk menutup hidungnya dari bau apak yang berasal dari barang-barang berdebu di sekitar mereka. Tapi keempat remaja itu seolah menahan napas saat suara langkah-langkah di luar mendekat, berhenti tepat di samping ruangan mereka. Mereka lega mengetahui pemilik langkah itu hanya mengunci pintu, kemudian kembali ke ruang depan, mengunci pintu dari luar, kemudian pergi.
Alisha dan Gioffany memilih bergegas keluar ruangan, sementara Sandhi mengintip ke dalam lubang yang sebenarnya berbentuk persegi panjang sempurna dengan pintu di sisi kirinya—sebuah pintu penghubung ke ruang bawah tanah. Kaindra berpegangan pada pintu itu, ikut mengintip. Tapi apa yang dilihatnya berbeda dengan yang dilihat Sandhi. Bukan sekedar ruang bawah tanah yang gelap. Ada seorang gadis, terkapar dan berkubang dengan darahnya sendiri yang berasal dari luka tusukan. Wanita lain yang lebih tua, memegang pedang pendek berlumur darah, menghampiri gadis itu untuk memastikan tanda-tanda kehidupan. Tapi tampaknya si gadis sudah tidak bernyawa lagi. Dan wanita itu menyeretnya begitu saja di tanah, menghilang dari pandangan Kaindra.