Tenggat Waktu

Nunik Fitaloka
Chapter #2

2.

Marvis mengikuti perempuan yang baru saja menyelonong masuk ke dalam kamarnya. Betapa tidak sopannya gadis yang akan dijodohkan oleh dirinya.

Marvis berdecak melihat perempuan itu duduk dengan santai di sofa. “Siapa yang mempersilahkanmu duduk?” tanya Marvis sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Ini sofa, kan? Berarti buat duduk,” jawab perempuan itu.

“Ini kamar saya dan saya tidak ingin ada orang asing di sini,” ucap Marvis.

“Sini ikut duduk.” Perempuan itu menepuk-nepuk sofa dengan tangannya sambil tersenyum.

“Tidak perlu basa-basi katakan pada Ayahmu bahwa aku menolak perjodohan ini bahkan kerjasama perusahaan,” ucap Marvis.

“Aish, manusia ini,” keluh gadis itu, “saat aku sampai kamu kamu membahas perusahaan bukannya menyapa 'Hallo' dan sekarang saat aku duduk juga membahas perusahaan. Memangnya hidupmu semua tentang perusahaan? Ck,” desis gadis itu lagi.

“Memangnya hidup anda tidak? Sudah saya tidak punya waktu silakan keluar sebelum sya seret paksa.” Marvis mengatakan dengan tegas.

“Ah, ini juga. Kamu berbicara terlalu formal. Saya, anda, huft.” Gadis itu mengembuskan napas kasar. “Dengar, ya, namaku Nana kamu bisa panggil dengan nama atau dengan sebutan 'kamu'. Aku tidak suka bahasa formal,” ujarnya.

“Apa anda sedang mengatur cara bicara saya?” tanya Marvis dengan sinis.

“Kamu bukan anda!”

Gadis itu berdiri menghadap Marvis. “Berikan tanganmu,” katanya.

“Apa?”

Dia bergerak mengambil tangan Marvis lalu menyalaminya. “Hallo Marvis aku Nana,” ucapnya dengan senyum mengembang.

Marvis hanya menatapnya tanpa menjawab. “Hei! Aku tau aku cantik,” kata Nana dengan kekehan lalu melepaskan tangan Marvis.

Marvis mengerjapkan matanya lalu melihat gadis yang memiliki nama Nana tersebut kembali duduk di sofa.

“Jadi begini, aku tau kamu tidak ingin perjodohan ini, kan? tapi inilah yang terjadi dan kamu harus hadapi. Kamu pikir siapa di dunia ini yang mau dijodohkan? Ini bukan zaman Siti Nurbaya,” ucap Nana.

“Tetap saja saya ... ah, aku tidak mau. Jadi, kamu boleh pergi,” jawab Marvis.

“Ya terserahlah kalau kamu tidak ingin tapi aku tidak akan pergi. Hoam, aku ingin istirahat perjalanan kemari sungguh melelahkan.” Nana melepaskan sepatu balet yang ia kenakan lalu mengangkat kakinya ke sofa lalu ia berbaring dan memejamkan matanya.

“Hei! Siapa yang menyuruhmu tidur? Bangun!” Marvis berdecak pinggang melihat tingkah gadis yang ada di hotelnya ini.

Lihat selengkapnya