Nana bangkit dari sofa dan menjauhi Marvis setelah mendorong tubuh pria itu. Dia benar-benar merasa canggung ketika sedekat itu. Bahkan napas mereka saling terasa satu sama lain.
Nana berjalan mengambil handuknya di dalam koper lalu menuju kamar mandi. “Hei! Apa yang mau kamu lakukan?” tanya Marvis tentu saja saat Nana melewatinya.
“Mandi,” jawab Nana sambil mengangkat handuknya ke udara.
“Siapa yang mengizinkanmu menggunakan kamar mandiku? Huh?”
“Lalu aku harus mandi di mana jika kamu tidak mengizinkanku?" tanya Nana dengan raut wajah malasnya.
Terlihat Marvis yang berdecak. “Jangan sentuh peralatanku,” ujarnya yang Nana anggap adalah sebuah izin untuk mengenakan kamar mandi itu.
Nana hanya merespons dengan senyum lalu memasuki kamar mandi.
Di balik pintu kamar mandi Nana memegang dadanya. Raut wajahnya berubah menjadi raut yang menyedihkan. “Aish, aku harus berbohong seperti ini. Semoga dia nanti akan memaafkanku,” gumam Nana merutuki dirinya.
Nana telah memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dia akan menelepon temannya yang juga berkuliah di sini. Dia akan segera meminta bantuan temannya itu dan menemukan cara agar Ibunya tidak terus memaksanya kuliah di sini.
Lima belas menit Nana mandi akhirnya ia keluar dan mendapati Marvis tengah memasang tali sepatunya. Sepertinya dia berencana pergi.
“Mau kemana?” tanya Nana.
“Ke luar.”
“Kemana?” tanya Nana lagi.
“Apa aku perlu lapor denganmu?” Marvis menatapnya dengan jengkel.
“Aku ikut,” kata Nana membuat Marvis berdiri dan memandangnya dengan tatapan kesalnya. “Apa kamu juga akan mengekoriku selama di sini?” Tajam Marvis.
“Aku tidak mau di hotel sendirian. Kalau kamu mau kerja aku bisa menunggu di tempat kerjamu,” jawab Nana.
“Kerja? Kamu kira aku di sini untuk kerja?” sinis Marvis.
Nana bungkam seketika. Dia merutuki dirinya karena asal bicara. Harusnya Nana mencari tahu terlebih dahulu tentang pria ini atau detik ini juga dia akan mengetahui kalau sebenarnya Nana bukanlah gadis yang dikirim Ayahnya ke sini.
“Ah, sudahlah. Aku ikut pokoknya.”