Mahendra Rafa
Itu Serena. Berdiri di hadapanku seolah tak pernah terjadi apapun diantara kita berdua. Menyapaku singkat tanpa rasa bersalah, dan tersenyum seolah senyum itu tak pernah membuatku jatuh sedalam – dalamnya. Benar adanya, sakitku hanya aku yang merasakannya. Begitu juga perasaan yang tumbuh saat aku bersamanya.
Katanya, itu cinta monyet. Tapi kenyataannya, cintaku habis di masa – masa itu. Sisanya, aku hanya melanjutkan hidup. Kutatap matanya sekali lagi saat ia menatapi Rula. Tak ada yang bisa kutebak, ia hanya menatap gadis yang kini jadi pacarku itu, lalu mengulurkan tangan. “Aku Serena.” Katanya, seolah – olah mengenalkan nama yang pernah dan sampai kini terpatri dengan jejak terdalam di hatiku.
Kukira aku sudah lupa, tapi rupanya Serena selalu punya tempat istimewa di hatiku. Ruang untuknya hanya kosong dan berdebu, tak pernah kubiarkan ia tak punya tempat berpulang. Tak pernah kubiarkan ruangnya terisi, oleh Rula sekalipun.
Sedikit, aku mencoba mencuri pandang pada Serena yang duduk di sudut cafe sendirian, bertanya – tanya apakah ia benar – benar sendirian, atau mungkin sedang menunggu seseorang. Dalam hatiku, diam – diam berharap Serena tidak sedang menunggu siapapun.
Padahal di hadapanku sekarang Rula sedang duduk, menantikan ceritaku seperti biasanya, dan tersenyum seolah – olah tak ada satupun hal dalam hidupnya yang menganggu. Aku terganggu oleh pikiranku sendiri, tentang bagaimana tiba – tiba perasaanku goyah dan hatiku sakit. Tentang bagaimana tiba – tiba aku ingin menghampiri Serena saat ini juga, membuat keributan, teriak, marah, dan menangis padanya. Menagih perasaannya yang tak pernah sampai padaku, serta menyampaikan padanya betapa dalam luka yang disebabkannya.
Tapi akhirnya, kutepis saja jauh – jauh.
Soalnya, Serena kelihatan baik – baik saja. Seperti caranya menyapaku tadi, dengan semangat dan ceria. Lebih ceria daripada saat ia bersamaku dulu.
Mataku terasa panas. Aku marah.
“Raf? Are u okay?” kata Rula sambil menatap mataku dalam – dalam. Tak kusadari kata – katanya sejak tadi yang ternyata sudah bicara lebih dulu. Aku terhanyut dalam pikiranku sendiri.
“I’m Okay.” Jawabku sambil tersenyum.