Mahendra Rafa
Selalu tentang Serena. Padahal, sudah cukup lama aku mulai beralih dan beranjak. Kenapa tiba – tiba dia muncul disana dan mengaburkan semua pandangku? Seolah – olah semuanya kabur, kecuali dirinya. Kuhempaskan badanku ke kasur, menatap langit – langit kamarku yang disinari proyektor galaksi. Proyektor yang kubeli waktu itu karena kupikir, aku suka bintang dan lampu – lampu yang bertebaran.
Tapi, ternyata semuanya biasa saja.
Aku tak suka bintang atau gemerlap lampu dalam gelap. Aku suka melihat semua itu saat Serena mengenalkannya padaku. Aku suka itu karena Serena menyukainya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia hidup seperti itu setelah membuatku menjadi seperti ini? Rasanya tidak adil melihatnya baik – baik saja.
Bahkan dia menyapa saat aku terpaku.
Ia tersenyum juga saat aku termangu.
[“Jangan lupa makan obat terus istirahat, Bi. Cepet sembuh ya.”]
Rula mengirimiku pesan sejak 2 jam yang lalu. Kubayangkan kecewanya saat dia tahu ternyata aku masih goyah dengan perasaanku sendiri. Apakah Rula akan tahu siapa Serena sebenarnya?
Tapi seharusnya, tidak ada tempat dimanapun bagi Rula untuk mencari – cari Serena di masa laluku. Tidak ada hal mencolok yang membuatku kelihatan jelas menghindarinya. Tak ada juga hal yang membuat Serena kelihatan lebih dari teman lewat keberadaannya. Dimana lagi? dimana?
Di Arsip instagramku.
Dia ada disana.
Tapi Rula tak pernah penasaran tentang hal – hal itu. Selama lebih dari setengah tahun aku berpacaran dengannya, ia tak pernah ingin tahu tentang mantan pacarku. Ia begitu penuh percaya diri, ia merasa selalu menang dari gadis manapun. Terlebih, dari gadis yang eksistensinya samar. Apa yang bisa membuat Rula penasaran dengan hal itu?
“Raf.” Tiba – tiba Reza sudah muncul di pintu kamarku. Ia membawa sebungkus martabak telur seperti biasa. “Biasanya kalau malming gini keluar sampe tengah malem? Tapi tadi aku telpon Ibu katanya udah pulang, ya.”