Hari ketujuh;
Kami sudah berdiri di bawah tebing pembatas antara kolam dangkal dengan kolam yang bergolak ganas. Tinggi ujung tebing tidak kurang dari satu meter kemiringan 35 derajad. Kami meniti atas tebing yang semakin ke atas semakin melebar seperti pada punggungan sebuah bukit.
Rerumputan dan lumut yang kami pijak bercampur lelehan air cukup menyulitkan langkah. Terpaksa aku berjalan dengan empat tumpuan, dua kaki dan dua tangan. Kami mengambil nafas pada bagian lantai tebing yang lebar. Aku tak bisa membayangkan jika sampai jatuh ke kolam sebelah kanan yang beringas. Tubuhku pertama akan menghantam tonjolan dinding tebing untuk selanjutnya dihajar oleh derasnya air yang menghujam ke dalam.
Tinggal satu tarikan nafas lagi kami akan sampai. Satu tarikan nafas yang menegang urat saraf karena kami harus memanjat tebing yang sesungguhnya dengan kemiringan nyaris 90 derajad. Tapi usaha keras kami terbayar oleh segarnya kolam pemandian sang bidadari.
Oh ya, aku ingat sekarang. Bukankah aku ini seorang bidadari. Aku ingat saat aku dan saudara-saudaraku tertawa-tawa turun dari bulan lewat jalan pelangi. Sebuah ritual yang kami lakukan jika bulan__rumah kami sedang purnama. Kami akan bermain-main dengan air bumi.
Oh, aku ingat waktu itu aku menangis sendirian. Saudara-saudaraku telah naik tanpa membawaku yang telah kehilangan selendang sakti yang membuat kami bisa meniti pelangi-pelangi bumi. Sedih, dan aku hanya bisa menangis.
Tiba-tiba di saat gundah menyerang hendak membunuh diri, muncul seorang pemuda menyelamatkan aku dari kematian tragis seorang bidadari yang putus asa. Dia menghibur dan berjanji akan membantu mencarikan selendang sakti milikku itu.
Jangan-jangan, dia yang mencuri selendang saktiku. Apa dia tahu kisah nenek moyangku__bidadari kuning yang kehilangan selendangnya gara-gara dicuri oleh seorang pemuda Jaka Tarub. Mereka akhirnya menikah, meski tanpa restu langit dan bumi. Mereka bahagia sekejap, karena setelah tahu selendang sakti disimpan oleh suaminya, bidadari kuning menjadi marah. Dia lalu merebut selendang sakti dari tangan suaminya dan pergi ke air terjun pelangi dan kolam bidadari untuk pulang ke kayangan bulan.
Sayang pintu kayangan tidak bisa terbuka. Kayangan yang suci tidak menerima bidadari yang telah ternoda. Peraturan yang kejam. Tapi hukum tetaplah hukum yang harus dipatuhi. Tidak ada kompromi asal semua senang dan aman. Di Negeri Kayangan hukum benar-benar ditegakkan. Bidadari kuning dikutuk menjadi air mata, teman bagi kesedihan hati para wanita bumi.
Sekarang, kejadian serupa terulang. Oh tidak! Benarkah aku kena penyakit latah amnesia. Apa dia benar-benar raja hipnotis hingga aku lupa dari mana aku berasal.
Sekarang, aku ingat. Kolam bidadari ini telah mengingatkan tentang siapa aku. Ya, aku si bidadari generasi kedua yang kehilangan selendang sakti karena dicuri oleh ambisi dan nafsu manusia.
“Jelita!” Kelana memanggilku. “Kau sedang apa? Kemarilah!”
“Kau yang mencuri seledangku?” tembakku langsung.
“Apa?” Kelana tampak kaget.
“Bukankah aku ini bidadari yang telah kau curi selendangnya.”
Kelana tertawa, “Kau berimaji lagi? Bagaimana kalau kita berenang saja. Aku ingin lihat hasil pelatihanku.”
Aku tidak berimaji Kelana. Aku berkata yang sesungguhnya. Kau, kau yang telah mencuri selendang__hatiku yang dulu beku. Kau, kau berhasil mencuri hatiku lalu menghangatkannya hingga lena berpaling dari kecewa dan dendam.
**
Aku duduk tepat di bawah matahari memanggang diri yang sempat menggigil setelah kami menari-nari dalam danau mini. Kemudian turun ke kolam terbawah yang menyisakan daratan kecil. Dingin, tubuh nyaris beku tapi seluruh rongga dalam tubuhku terasa hangat.
“Tak seperti gambaran pendongengmu.” Kelana membuka percakapan.
“Menurutku ini lebih indah.” aku memandang Kelana sambil tersenyum. “Terimakasih, sudah membawaku ke tempat yang indah seperti ini.”
“Apa kau senang?”
“Sangat senang. Walau harus bersusah-susah dahulu.”
“Haha… syukurlah,” kata Kelana sambil membalik ikan. “Aku harap, semua ini bisa menyembuhkanmu.”
“Apa aku sakit?”
“Jiwamu sakit bukan?”
“Gila? Kau pikir aku gila?”
“Luka-luka di hati yang membuatmu sakit.”
“Kau masih menuduhku gila?”
“Bukan gila Jelita, jiwamu tengah meradang. Itu yang membuatmu tak bisa merasakan senang, tak tahu cara tersenyum, enggan tertawa. Sekarang, kau sudah bisa tersenyum bahkan tertawa. Kau bisa merasakan senang, sedih, mengagumi keindahan dan merasa ketakutan. Sebelumnya kau itu seperti robot tanpa rasa.”
“Mungkin yang ini kau benar.” aku pasrah dengan pernyataan Kelana.
“Uhh, sudah matang. Nih!” Kelana menyodorkan sebuah ikan yang berwarna cokelat kehitaman padaku. “Awas, panas! Aauu, panas!” Kelana mengingatkan aku, tapi dia justru yang ceroboh lagi.
“Seharusnya aku yang mengingatkanmu.” kataku tersenyum geli. “Dasar ceroboh!”
“Keburu lapar.” jawabnya asal lalu memasukkan ikan bakar yang masih panas ke dalam mulutnya. “Huu…hah hah…” Kelana membuka mulutnya sementara tangannya mengibas-kibas di depan mulutnya.
“Konyol!”
“Keburu dingin, tuh! Nanti jadi tidak enak.” Kelana menunjuk ikan bakar yang masih aku pegang.
Aku melahap ikan jatahku sampai tinggal durinya saja. Tiga ikan ukuran sedang, ternyata cukup untuk mengenyangkan perut. Penyakit lamaku kambuh. Aku terserang rasa kantuk setelah perut kenyang.
“Kita langsung pulang saja yuk, biar tidak kesorean sampai pondok seperti kemarin” kata Kelana bangkit dari duduk, berjalan menuju kolam mengambil air dengan kedua belah telapak tangan untuk mematikan api perapian.