Hari kedelapan;
“Kau harus menepati janjimu.” kataku menuntut.
“Kakimu masih cidera.”
“Kakiku baik-baik saja. Aku sudah sembuh, Kelana.”
Demi meyakinkan Kelana, aku lari-lari dan melompat-lompat di tempat. “Kau lihat, kan. Kakiku sudah bisa untuk berlari malah.”
“Jangan memaksakan diri.”
“Aku hanya menagih janji.”
“Besok saja ya.”
“Sekarang.” rengekku.
“Anak nakal! Baiklah,” Kelana mengalah seperti biasa lalu bangkit dari pembaringan. “Tapi aku tidak bisa menggendongmu, jika kakimu tidak bisa jalan. Aku harus menggendong rangsel, bekal hidup kita selama perjalanan.”
“Kupastikan kakiku baik-baik saja. Asal bisa melihat sunrise dan negeri di atas awan, aku rasa itu bisa menyembuhkan kakiku.”
“Kalau begitu, bersiaplah. Dingin akan lebih menggigitmu di atas.”
Kami kemudian mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bekal perjalanan, peralatan, perlengkapan semua di-pack dengan rapi oleh Kelana ke dalam satu tas rangsel besar.
Hari masih terlihat gelap dan berkabut, ketika kami mulai melipir tepian mangkuk alam padang penggembalaan sebelah kiri. Pada pertigaan padang bunga kami menyeberang lurus menaiki bukit sebelah timur.
Tiba di puncakan bukit landai, pintu gerbang pohon kedua menghadang jalan kami. Gerbang pohon pertama adalah gerbang pohon menuju padang gembala. Entah ada apa di ujung gerbang yang akhirnya membentuk terowongan panjang ini. Aku hitung panjang lorong pohon yang sedang kulewati ini mencapai 30 langkah normal. Lebih panjang dari gerbang pohon satu yang hanya sepuluh langkah saja.
Cukup berdebar mendekati bias cahaya yang kian terang. Padang stepa, kalau boleh aku sebut demikian menanti tanpa kesan. Gersang dengan rerumputan segan bergaul dengan sesamanya. Mereka membentuk gap-gap sendiri. Tak ada komunikasi seperti lahan yang mati.
Sementara di seberang nun jauh ada yang menatapku dengan angkuh dan seakan ingin membunuh. Ah, misteri itu yang ingin kusibak. Tunggu saja kawan, kau sebentar lagi akan kutundukkan. Meski Kelana selalu bilang alam tidak akan pernah bisa ditaklukan. Hanya dirimu dan egomu yang bisa kau taklukkan. Tapi dalam jiwaku ada hasrat untuk itu.
“Itu puncaknya?” tanyaku menunjuk pada sebuah bentuk gundukan biru menjulang dalam rupa segitiga tumpul.
“Benar, anggun sekali. Guratan keterjalannya tampak jelas.”
“Dekat sekali dengan langit. Apa aku bisa menyentuh langit?”
“Itu salah satu dari sekian banyak atap dunia. Mungkin kau bisa menyentuh langit.”
“Benarkah?”
“Dengan keyakinan.”
“Terlihat begitu dekat.”
“Sehari ini kita baru akan sampai di tepi pelawangan. Besok pagi baru kita bisa ke puncak.”
Aku mengangguk dan terus berjalan mengarah ke kanan menghampiri akasia yang melambai malu. Masih jauh, meski kawasan hutan pohon itu terlihat sangat dekat.
Kami masih melintasi padang semak dengan sinaran mentari yang telah menyibak temaram pagi buta. Sungguh membuka hati menjadi lapang, seluas padang stepa ini. Seperti padang gembala, padang ini terpagari bukit-bukit menjulang. Ada rasa aman sekaligus was-was. Aman dari telinga-telinga yang ingin mencuri dengar. Namun was-was akan kepungan musuh yang lebih mengenali medan.
Berada dalam gugusan benteng alam menjulang sekali lagi membuatku merasa amat kecil. Aku tak bisa membayangkan jika nanti tiba-tiba saja padang ini memakanku. Aku pasti langsung tenggelam tanpa bisa melawan.
“Hhh…” aku mendesah. Pikiranku mendadak teringat pada kehidupanku yang jauh di bawah sana.
Aku tak tahu kenapa aku justru ketakutan saat bersama mereka. Di sini, yang mereka bilang sangat dan teramat dekat dengan kematian, aku justru tidak merasakan apa-apa kecuali kedamaian, ketenangan sejati. Kegembiraan yang merasuk hingga hati.
Mungkinkah aku hanya seorang pengecut yang melarikan diri dari kenyataan. Menghindari tantangan hidup sesungguhnya, berkejaran dengan maut lalu menjadikannya kawan setia.
Rasa salutku menguar, standing applause akan kupersembahkan pada mereka yang di peradaban sana bisa tegar tanpa harus lari dan bersembunyi dalam bukit-bukit terjal, tebing-tebing menjulang. Mereka itulah petualang sejati. Berani mengarungi hidup yang keras dengan hati lapang. Tidak takut terlindas takdir yang sudah digariskan untuknya.
Lalu aku? Si pengecut ini masih saja bersembunyi dalam keindahan yang melenakan. Ingin mengingkari komunitas manusia yang mungkin masih menunggu datangku. Adakah keinginan untuk pulang? Entahlah, aku terlalu senang di sini. Dan yang pasti ada Kelana yang telah merubah hatiku menjadi seceria pelangi.
“Hari yang cerah.” aku menghirup udara segar sedalam-dalamnya. Merentangkan dua tangan selebar-lebarnya.
“Kau sedang apa?”
“Menghirup bau alam. Wangi. Aku sangat suka di sini. Dadaku tak lagi sesak”
“Apa ini sifat aslimu?” Kelana tersenyum, “Ceria seperti anak-anak, tanpa beban.”
“Seharusnya… mungkin. Aku hanya mengekspresikan apa yang aku rasakan. Benar, aku sangat merasa ringan. Tapi aku tidak seperti anak-anak!”
“Sepertinya kau sudah menjadi Jelita yang baru.”
Aku mendiamkan Kelana. Aku hanya mencermati langkahku yang menumbuk tanah kering berdebu dan sesekali terbenam dalam rumput semak-semak.
“Elang kemarin, Jelita.” Kelana berhenti mengamati elang yang mengangkasa. “Kau harus seperti elang. Sendiri, bebas melanglang angkasa. Kuat mengepakkan sayap meski dalam badai sekali pun.”