Tentang Aku Dan Kelana

Xie Nur
Chapter #19

Menjenguk Tempat Lahir Sang Penerang

Hari kedelapan;

Air mataku meleleh bukan karena amarahnya. Lebih dari itu, pengorbanannya. Haruskah aku pasrah?

“Diam sajalah kalau kita ingin hidup.”

Aku tak tahu apa yang dilakukan Kelana. Tapi perlahan tubuhku mulai terangkat seiring erangan Kelana yang mengerahkan seluruh kekuatannya guna menarikku.

Kami terlentang secara berundak mengatur nafas. Maut gagal menculik jiwa dari raga kami. Setengah duduk aku memperhatikan Kelana masih memegang tali yang mengikat kami, sementara ada tali lain terikat pada sebuah pohon yang tidak terlalu jauh dari tempat Kelana terkapar. Nafasnya kembali teratur dalam mata terpejam.

Gemetar aku merangkak mendekati Kelana. “Terimakasih,”

Hening tercipta. Hanya degup jantung dan nafas kami yang saling berbisik menenangkan. Aku turut memejamkan mata. Sungguh sensasi yang luar biasa. Laksana berperang dengan kematian. Dan aku merasakan adanya ketakutan sangat. Aneh? Apakah pikiranku sedang waras sekarang.

“Minumlah, setelah itu kita jalan sebentar ke tempat yang lebih lapang.”

Benar, tak berapa lama kemudian kami tiba di sebuah tempat yang datar dan cukup luas. Sebuah tempat yang terlindung oleh jenis tanaman semak perdu yang rimbun.

“Kita berkemah di sini.” kata Kelana.

Aku menjatuhkan diri bersandar pada tanaman semak. Fiuuh, lelahnya. Kelana membongkar tas rangselnya. Mengeluarkan tenda dan memasangnya. Aku jadi tergerak membantunya. Tenda dome yang menjadi tempat tidurku selama di pondok turut pindah kemari.

Waktu itu mentari sudah tergelicir ke barat. Memberikan sisa-sisa sinarnya pada kami yang masih sibuk dengan urusan camp. Kali ini aku dapat jatah memasak air. Sementara Kelana mengambil air di cerukan yang letaknya kurang lebih 100 meter dari arah kiri kami.

Aku mengamati api kompor yang menari-nari seiring hembusan angin. Entah kenapa aku jadi tertarik dengan tarian api itu. Ada senandung kebebasan di sana, kebebasan yang membakar, menghangatkan dingin yang bersarang. Seperti Kelana yang telah berhasil melelehkan salju hatiku.

Dulu salju itu sangat tebal. Sering tertimpa badai, sehingga ia tak pernah enyah dari sana. Dingin menggigilkan asaku. Menidurkannya dalam mimpi buruk yang berkelanjutan. Aku hanya bisa meradang, berteriak panas meski hati dingin membeku.

Apa yang terjadi padaku. Apa Tuhan sedang menghukumku? Menerbitkan kecewa di kawasan terluka. Percuma, aku tak akan bisa merasakan hangat kecuali dendam yang berkeliaran.

“Airnya sudah bergolak.” tegur seseorang.

Aku mendongak kaget, lalu mengalihkan pandangan pada rebusan air yang telah mendidih. Mematikan apinya lalu menyiapkan kopi hangat untuk mengusir dingin. “Kau cepat sekali?”

“Tempatnya tidak terlalu jauh. Beruntung sekali kita. Airnya sedang melimpah.”

Menjelang gelap, semua masakan untuk makan malam kami telah matang. Senja ini angin berhembus cukup kencang. Kami masih bertahan di luar bersanding dengan api unggun kecil.

“Maaf, tadi aku sudah membuatmu masuk dalam lingkar kematian.”

Kelana tersenyum, “Lain kali perhatikan jalanmu.” Kelana tetap asyik memotong-motong ranting pohon memasukkannya dalam nyala yang membakar.

Aku terpukau oleh ulah api yang awalnya hanya menjilat-jilat ranting, kemudian perlahan tapi pasti meremukkan si ranting menjadi abu. Hebat sekali si jago merah itu.

“Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang membawamu lari kemari?” tanyaku ingin tahu lebih dalam tentang Kelana.

“Aku tidak lari, Jelita. Aku berada di sini karena sebuah kesalahan cinta.”

“Kesalahan cinta?”

“Kau tahu, cinta sangat bisa menyakiti orang lain dan orang yang kita cintai.”

“Apa ada cinta yang seperti itu?”

“Cinta buta. Cinta yang hanya bisa merasa tanpa melihat realita.”

“Apa kau pernah merasakan cinta buta?”

“Cintaku pada alam adalah cinta buta. Walau ia pernah menghajarku sedemikian rupa dalam badai. Aku tetap saja menjenguknya dalam kerinduan sangat.”

Aku tersenyum, “Bagaimana dengan cinta kekasih?”

“Aku pernah merasakan, namun aku menanggung sakit menahun karenanya. Belum sembuh. Sering terasa nyeri menyerang lubuk hati. Kau sendiri?”

“Entahlah. Aku belum mengerti apa itu cinta. Apa cinta itu sebuah kebahagiaan, kesakitan, penderitaan, kesenangan atau taburan kecewa? Hidupku sebelumnya hanya berputar pada hitam dan putih semata. Tak ada yang namanya cinta. Meski aku pernah berkoar sangat mencintainya. Ternyata itu bukan cinta. Itu sebuah bentuk penghargaanku padanya. Sebuah balas jasa dengan imbalan tubuhku.”

Lihat selengkapnya