Tentang Aku Dan Kelana

Xie Nur
Chapter #20

Menumbuhkan Hari

Hari kesembilan;

Sepulang menjenguk negeri di atas awan, aku membantu Kelana mengurus bibit pohon. Tak ada lelah bersemayam meski Kelana menyuruhku beristirahat setelah menempuh perjalanan panjang.

“Ini bibit pohon apa?”

“Pohon pinus, sebelahnya cemara dan aku akan coba tanam pohon apel. Semoga bisa tumbuh hingga berbuah.”

“Benar, walau di sini gudangnya pohon. Tapi sekitar pondok terkesan gersang tanpa satu pohon pun. Kalau ada pohonnya pasti akan terasa lebih sejuk. Apalagi bisa menghasilkan. Bagaimana kalau kita tanam di tepi danau juga. Biar kita bisa lebih lama duduk di tepi danau tanpa takut kepanasan.”

Kelana mengangguk setuju, kemudian dia mulai membuat lubang untuk tanaman dengan menggunakan golok. Cukup memakan waktu juga, tanpa sarana yang semestinya. Aku jongkok menunggui Kelana mengawasi pekerjaannya.

“Nah, satu sudah selesai. Tiga lubang lagi.” Kelana berdiri memandang ke tanah sekeliling. “Sisanya kita tanam di tepi danau.”

“Baiklah.”

Kelana lalu mengitari pondok. Menandai, tiap jengkal bagian yang hendak diberi pohon. Mengatur jaraknya agar pas mengelilingi pondok. Aku mengikutinya seperti anak kecil, membantu membawakan bibit pohon meletakkan pada posisi yang akan ditanami.

Kelana menggali lagi titik-titik penanaman yang telah ditentukan tadi. Masih dengan golok. Dan sekali lagi aku berjongkok melihat Kelana bekerja. Mengamati tiap tetes keringat yang meleleh lalu jatuh. Melihat kegigihannya menggali, menggali dan menggali. Tak peduli luka di tangannya.

Bibit pohon telah tertancap semua pada tanah. Kami kemudian menyiramnya dengan air agar ia dapat langsung meminum air lewat akar-akar yang masih rapuh.

“Tumbuhlah kalian!” seruku menatap seluruh bibit pohon.

Kelana tersenyum, “Pasti mereka akan tumbuh besar dan rindang, kelak kau datanglah untuk menjenguknya.”

“Aku akan menunggui pertumbuhannya.”

“Memang kau ini ibunya?”

“Iya, aku membantu proses penanamannya.”

“Kau tidak ingin pulang?”

“Kenapa kau tanyakan hal itu lagi? Kau sudah bosan denganku?”

“Bukan begitu. Hanya tidaklah pantas kita terus-terusan berdua seperti ini.”

“Kenapa? Kalau begitu, nikahi aku.”

Kelana tertawa, “Dasar bocah! Kau sadar apa yang kau katakan?”

“Tentu saja. Aku merasa otakku masih waras. Atau karena aku sudah tidak suci lagi jadi kau menolakku?”

“Bukan karena itu. Aku pernah bilang kan, sekarang hidupku sepenuhnya milik alam. Hatiku pun telah aku serahkan seluruhnya padanya. Tak bersisa lagi, Jelita. Aku bahkan tidak bisa lagi mencintai dan hidup bersama orang-orang yang seharusnya aku cintai. Aku menghargai keterusteranganmu. Tapi jangan sampai kau kecewa karena aku.”

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Kelana. Kenapa kau harus menyerahkan seluruh hidupmu untuk alam?”

“Karena aku mencintainya,”

“Jadi kau benar-benar menolakku?”

“Kau masih muda. Berpikirlah tentang cita-citamu.”

“Hehh… Cita-cita?”

Lihat selengkapnya