Hari kesembilan;
“Kita pesta!” teriak Kelana girang ketika jeratnya berhasil menangkap seekor ayam hutan setelah dua hari kemarin jerat Kelana kosong. “Hari ini hari keberuntungan kita.”
“Kita masak apa?”
“Kita bakar saja. Hemm nyam nyam, sudah terbayang kelezatannya.” Kelana mengangkat ayam itu tampak bernafsu. Ayam hutan itu meronta dan menjerit-jerit ketakutan.
“Kasihan juga.” gumamku.
“Kita lihat jerat yang lain.” kata Kelana bersemangat.
“Boleh.”
Kami memeriksa tempat pemasangan jerat yang lain. Tapi hari ini keberuntungan kami cuma menghasilkan satu ayam saja. Lagi pula, satu ayam sangat cukup untuk makan kami berdua, sekali makan.
Kami segera beranjak dari area pemasangan jerat. Menerobos rimbunnya semak belukar berjalan di antara pohon-pohon besar yang melindungi kami dari sengatan matahari langsung.
Aku duduk di teras memperhatikan Kelana yang sibuk mengolah ayam yang kini telah menjadi mayat. Terus terang aku tak tega melihat aksi penyembelihan hingga perendaman di air panas lalu pencabutan bulunya. Setelah itu mengorek bagian dalam ayam untuk dibersihkan.
“Kita bakar sekarang?” tanyaku ketika Kelana telah selesai dengan perlakuan pertama pada ayam malang itu.
“Aku mau merebusnya sebentar, agar proses pembakaran nanti cepat matang.”
Aku manggut-manggut, membiarkan Kelana masuk ke pondok. Melihat danau yang begitu tenang. Merasakan hembus angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahku. Menikmati kesejukan warna hijau dan biru yang memenuhi layar sekitar.
Aku ingin tinggal di tempat ini selamanya, bersama Kelana. Seperti Jane dan Tarzan. Bukankah mereka dikisahkan hidup berbahagia di dalam hutan. Aku ingin seperti itu. Sayangnya, Kelana tidak menginginkan aku.
Aku mendesah. Berkeluh kesah pada alam. Memohon pada mereka agar Kelana memberiku ijin tinggal di sini untuk selamanya. Tapi mereka menggeleng. Kenapa? Apa aku telah berbuat kesalahan?
Baiklah, aku datang memang dengan khilaf yang membara. Tapi aku telah membuang jauh-jauh pikiran pembawa khilaf itu. Aku kini manusia yang bebas. Aku tak lagi memakai belenggu kehidupan masa lalu.
Oh, aku teringat sesuatu. Jadi ini? Perasaan apa ini? Aku bergegas masuk ingin segera menyampaikan berita gembira ini pada Kelana.
“Kelana, aku sudah menemukannya.” kataku berbinar.
“Menemukan apa?” Kelana mengernyitkan kening.
“Kehidupan yang selama ini aku cari. Terimakasih, Kelana.”
Kelana tak memperhatikan aku. Dia sibuk mengangkat panci yang berisi rebusan ayam. “Selamat ya, lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Tempat ini, Kelana. Rumahmu, teman-temanmu dan binatang peliharaanmu. Semua, semua, semua adalah sebuah rangkaian kehidupan yang selama ini aku cari. Kehidupan yang tak pernah memakai topeng pada wajahnya.” aku tak menjawab pertanyaan Kelana.
Kelana menatapku tanpa berkata-kata.
“Tentu saja, alam adalah kehidupan yang tumbuh tanpa pernah memakai topeng. Bukankah mereka begitu alami. Hidup apa adanya, dengan kebahagiaan mereka. Aku mengerti sekarang.” aku terus mengoceh.
“Bagimu, bukit-bukit, padang-padang rumput, puncak-puncak dan segala ornamennya adalah kehidupan tak bertopeng yang selama ini kau cari.”
“Aku akan menetap di kehidupan tak bertopeng ini. Bersamamu.”
Kelana sekali lagi tidak bereaksi dengan keinginanku. Dia begitu tenang, asyik meniriskan ayam dari air perebusan.
“Kau terlihat tidak senang. Padahal kau yang membawaku sampai sejauh ini. Sekarang giliranku.”
“Giliran apa?”
“Membantumu membuang kunci harta karun beserta petanya. Apa yang harus aku lakukan?”
Kelana tersenyum, “Tak ada.”
“Ayolah Kelana, katakan saja. Kau bilang kita harus impas. Biarkan aku membalas jasamu.”
“Aku tidak melakukan apa-apa, Jelita. Kau yang menemukan sendiri.”
“Tapi kau yang menuntunku. Memberi penerangan bagi langkahku. Kau tahu Kelana, aku tak pernah merasa sangat hidup seperti sekarang ini.”
“Kau harus menyimpan semangat ini sampai kau pulang.”