Hari kesembilan;
Suasana pekat mewarnai acara makan malam kami yang nikmat. Penerangan kami hanya api unggun yang menyala sedang. Apa boleh aku sebut sebagai makan malam yang remang romantis. Meski tanpa lilin pemanis.
Wajah Kelana tampak begitu menawan tertimpa cahaya pendar api unggun. Auranya sungguh membuatku terpana. Tak ada yang istimewa dari wajahnya selain garis wajahnya yang tegas, sangat mencerminkan bahwa dia seorang pria sejati. Senantiasa menjadi pelindung dan tongkat penguat bagi kerentanan, kerapuhan hati wanita.
“Oh ya,” aku merogoh kantung sakuku. “Ini fotomu, kan?” aku menunjukkannya dari jarak jauh. “Ngomong-ngomong siapa itu Brad Pitt?”
“Dia artis barat terkenal. Dia ganteng lho, masa kau tidak tahu? Cewek-cewek banyak yang suka sama dia.”
Aku menggeleng.
“Kalau Le Min Ho, Gong Yoo atau Song Joong Ki, aku baru tahu.”
“Siapa mereka?” tanya Kelana.
“Tidak tahu?”
Kelana menggeleng bingung. “Oh ya coba lihat fotoku!” Kelana meminta foto yang ada di tanganku.
“Ini!” aku tak mau melepaskannya, hanya beringsut mendekatkan ke mukanya.
“Kau mengambil atau menemukannya?”
“Di bukumu.” aku memandang fotonya. “Kau foto di mana?”
“Di Aceh, saat jadi relawan. Kebetulan ada teman yang bawa foto untuk dokumentasi kegiatannya. Dia wartawan lepas, yang meliput sekaligus jadi relawan. Karena aku sudah lama tidak foto, makanya aku minta satu foto darinya.” Kelana tersenyum, “Kemarikan fotoku!”
“Biar aku yang simpan.”
“Buat apa?”
“Buat menakuti tikus di pondokan.”
“Tidak akan mempan. Wajahku kurang menyeramkan? Terlalu manis malah.” Kelana menyeringai.
Hehh… pe-de banget nih, orang! Batinku. Kau itu sama sekali tidak tampan! Tapi aku senang memandanginya, selalu ada getar aneh yang menggelitik hatiku.
Kelana memandang ke bawah, “Bintang langit tak bisa dilihat, tapi setidaknya kau bisa melihat bintang kota.”
Aku mengikuti arah pandangan Kelana, “Bintang kota?”
“Itu!” Kelana menunjuk arah kerlip cahaya nun jauh di bawah sana. Kerlip-kerlip yang berderet-deret, membentuk formasi sendiri-sendiri. Ada yang persegi, segitiga, memanjang, menyilang bahkan melingkar.
“Jadi lampu peradaban itu bintang kota?”
“He-em, cahayanya dari atas sini seperti kerlip bintang bukan?” Kelana menoleh, kini posisinya setengah membelakangiku dan api unggun. “Makanya aku namai kerlip permukaan bumi sebagai bintang kota.”
“Dari sini peradaban pada malam hari juga terlihat sangat indah ya? Sayang ketika kita menjejak ke sana semua hanya fatamorgana. Keindahan yang tampak hilang menyisakan kecewa.”
“Mungkin.” komentar Kelana. “Bintang yang berderet berkumpul itu aku tebak sebagai daerah pemukiman.”
Aku mengangguk, “Apa bintang yang berjeda jauh dan teratur itu jalan raya?”
“Aku rasa.”
“Lalu, bagaimana dengan cahaya yang bersinar paling terang dan sendirian itu?”
“Apa ya? Menurutmu?”
“Selama ini aku hidup dalam kebingungan dan keterasingan.” Kelana tampak terkejut dengan ucapanku. Dia hanya menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun seakan menunggu kelanjutan kata-kataku. “Keluargaku bukan keluarga yang utuh. Ayah-ibuku bercerai berawal dengan perselingkuhan ayah. Bertahun-tahun aku terkungkung pertengkaran demi pertengkaran yang menjadi musik wajib bagi telingaku. Perceraian bukan akhir yang indah, karena setelahnya aku menjadi penyebab konflik mereka.
Aku begitu lega ketika ibu menemukan seorang pria yang bisa menggantikan posisi ayah. Maksudku suami pengganti suami yang selingkuh dulu. Dia bukan ayahku, tentu.” aku tersenyum satir. “Ibu tidak lagi menangis dan marah-marah padaku.”