Hari kesepuluh;
Wajahnya terlalu indah untuk dilupakan, terlalu menawan untuk sejenak ditinggalkan. Tegas mengandung jiwa kekanakan yang menggemaskan. Kehadirannya telah mengusir sepi dalam diri, mengubahnya menjadi warna pelangi yang ceria berhias senyum terlupa luka nestapa.
Dia adalah sosok yang bersahaja, bersahabat dan sanggup menghibur rindu pada kenangan lalu. Setia menjadi tempat mencurah segala kesah. Menyelubungi ketakutan dalam perlindungan yang hangat.
Cerianya, senyumnya, kekokohannya menggetarkan jiwa dan raga. Menyucikan luka menganga kemarin hingga mengering air mata.
Caranya menghiburku, caranya meredam amarahku, caranya menempatkan aku sebagai wanita membuatku lena ingin selalu berada di sampingnya. Mendengar kisah-kisah petualangannya, mendengar nyanyian kelananya, mendengar impian-impian yang selalu membuatnya bergairah dalam menempuhi hidup.
Kesetiaannya pada keluh kesahku, keindahan kata-kata petuahnya memenjarakan hidupku pada terali hidupnya. Mencanduku dengan kasih sayang dan perlindungan.
Siapa dia?
Cintakah aku padanya? Cinta atas segala kebaikannya.
Siapa dia? Kelana…
“Kelana…”
“Dia membisikkan sesuatu.” aku mendengar suara orang berkata-kata. Tak ada suara Kelana. Aku kembali memanggilnya, “Kelana…”
“Hangatkan dia!” suara orang lain lagi.
“Ajak dia bicara!”
“Kelana…”
“Jelita kau dengar kami?”
Siapa itu? Erang batinku. Mulutku tak bisa membuka. Aku hanya bisa menggumam satu kata. “Kelana…”
“Jelita, dengar kami! Kau dengar kami?”
Aku menggerakkan kepalaku mengangguk. Air mataku meleleh lewat celah mata yang tertutup.
“Kau Jelita, benar?”
Aku mengangguk lagi. Meski hatiku berteriak. ‘Siapa kau! Kenapa berisik sekali.’