Hari Pertama;
“Jadi kau masih kuliah?”
“Ya.” sahutku masih dalam posisi meringkuk di sudut ruang. Ini percakapanku dengannya untuk yang pertama kali, meski kami telah bermalam bersama dalam satu pondok.
“Semester?”
“Dua.”
“Kau masih muda.”
Aku hanya diam tak mengerti maksud kata-katanya. Benar aku masih muda, mungkin. Lalu?
“Kenapa kau sudah penuh dengan luka?” katanya lagi sambil tersenyum.
Sok tahu! Batinku.
“Apa pedulimu!” balasku kemudian.
“Baiklah. Pernah dengar cerita tentang Pangeran Kodok?” Tanpa menunggu reaksiku dia sudah mulai mengoceh. “Sebenarnya Pangeran Kodok itu tidak berubah menjadi tampan. Tapi justru sebaliknya Putri Cantiklah yang berubah menjadi kodok.” Dia tertawa. “Makanya waktu itu dia menganggap Pangeran Kodok telah berubah menjadi pangeran yang sangat tampan.” Tertawa lagi. “Mata dan cermin selalu menipu pandangan seseorang ya?”
Tanpa ekspresi. Aku hanya menatap ruang yang kosong, sama sekali tak melihat ke arahnya.
“Sama sekali tidak lucu?” Dia yang jongkok di depanku memastikan dengan menghadapkan wajahnya ke mukaku.
Aku sama sekali tak tertarik dengan sikap sok ramahnya.
“Maaf, apa kau tidak bisa tertawa? Tersenyum sedikit?” Senyumnya menerjangku.
Sontak mataku memicing ke arahnya dengan tusukan tajam.
“Ayolah, coba sedikit saja… menyungging begini!” Dua jari telunjuknya menunjuk sudut bibirnya yang terangkat, menampakkan deretan gigi yang rapi dan putih. “Sama sekali tidak bisa?”
Jengah aku bangkit dari duduk meninggalkan orang syaraf itu. Menerobos pintu keluar pondok yang sebagian tertutup tubuhnya.
“Hei, mau kemana?”
Aku tak mengacuhkannya.
“Kita belum kenalan! Aku Kelana. Kau?”
Peduli amat! Aku tetap melangkah, bimbang sejenak menentukan arah. Lalu berjalan lagi meski aku tak tahu kemana kaki akan menuju. Biar saja, kuikuti saja tuntunan kata hati. Berjalan lurus sajalah dulu, daripada duduk bersama orang gila itu.
Aku menoleh ke belakang memastikan apakah dia mengejar. Gila! Dia mengikutiku. Spontan aku berlari mendaki bukit landai yang bersih dari pepohonan, bukit yang punggungannya hanya berhias rumput-rumput liar.
Tiba di ujung tanjakan landai. Jalan datar melambai-lambai ke arahku, menunjuki bahwa jalan yang kupilih ini benar. Terengah-engah dan kaki lemas. Aku tak sanggup lagi berlari, aku pasrah ketika dia sudah semakin dekat.
“Hei Nona, kau mau kemana?” Suaranya terdengar berjarak satu lengan di belakangku.
Segera membalikkan badan. “Apa yang kau inginkan!” Dengan segenap keberanian yang masih tersisa aku berseru kepadanya.
“Kalau kau ingin pulang, kau itu salah jalan.” katanya membuatku tercengang.
“Kalau kau ingin membantuku, bisa kau tunjukkan ke arah mana jalan pulang?” kataku lebih ramah, sambil berjalan mundur menjaga jarak aman.
“Bisa juga bicara manis.” Dia menyeringai. “Ke sana.” Tunjuknya pada sebuah jalan setapak lain.
Ya, aku salah saat mengambil jalan di persimpangan. Seharusnya aku memilih jalan yang kanan bukan kiri. Bodoh! Bukankah kanan sudah jelas arah kebaikan.
“Kau tidak sedang menipuku?”
“Untuk apa? Tidak membawa keberuntungan atau kebuntungan.”
Aku menelanjangi matanya. Mencari apakah ada benih kebohongan yang tertanam di balik bola matanya yang hitam.
“Baiklah,” aku melangkah turun. Begitu aku sudah dekat dengannya, dia menepikan tubuh memberiku ruang untuk berjalan.
“Silakan!”
Berjalan turun memang selalu lebih cepat dari pada saat mendaki dengan berlari sekali pun. Tidak sampai lima menit aku sudah tiba di persimpangan jalan.
“Setelah ini kau ikuti saja jalur yang ada. Karena sekarang sudah siang dan melihat dari kondisi fisikmu, malam kau baru sampai di desa terakhir.” jelasnya tanpa aku minta.
“Terima kasih.” ucapku sekaligus sebagai kata berpamitan. Namun baru saja aku melangkah tiga tapak dari persimpangan tiba-tiba ribuan kunang-kunang menyerangku, mengitari kepalaku, nyaris membutakan mataku. Tubuhku menjadi limbung.
“Kau baik-baik saja?” kata-katanya terdengar semakin menjauh.
Entah kenapa, setelah kata-katanya itu aku tak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat kepalaku semakin pening, pandangan semakin mengabur lalu… hilang….
Aku berada dalam ruang gelap yang hampa udara. Sesak, sukar bernafas. Inikah rasa kematian? Aku mencoba menikmatinya tanpa memberontak. Biarlah… biarlah begini. Sendiri, gelap dan sepi.
Setelah ini tak ada lagi kebimbangan yang mendesak. Setelah ini aku akan aman dari hiruk-pikuk dosa dunia. Setelah ini damai yang terdamba nafas manusia akan segera menjemputku. Lega.
Tetapi kemudian,
“Kau sudah sadar?” kata-kata itu mengiang diantara sinar terang yang menyorot mataku.
“Ada apa denganku?”
“Kau pingsan lagi.”
“Di mana aku?”
“Kau kembali ke pondokku. Masih ingat, aku Kelana.”
Sembari menahan kepala yang berdenyut hendak pecah, aku mencoba mendudukkan tubuh.
“Minumlah!” Dia memberiku segelas air.