Tentang Aku Dan Kelana

Xie Nur
Chapter #3

Menanti Malam

Hari pertama;

“Lepaskan aku!” ocehku ketika dia terus membawaku ke sisi lain danau.

“Taaaa raaaaam, lihat! Kita akan bersampan ria, sambil mencari ikan.” dia melepas pegangan tangannya, menghampiri perahu kecil yang dia tambat pada sebatang pohon, setelah melepas ikatan perahu dia lalu mendorongnya ke air.

“Memancing maksudmu?” aku malah bertanya di saat dia lengah. Seharusnya aku bisa langsung melarikan diri dari orang tidak waras itu. Tapi nyatanya kakiku terpaku di tempat.

“Iya, kalau beruntung. Kalau tidak, ada ini.” dia menunjukkan sebuah jaring kecil. “Ayo, naik!”

“Aku di sini saja.”

“Jelita… jangan terus hidup dalam kestatisan. Yang kau perlukan agar bisa kembali tertawa lepas dari belenggu kecewa atau apapun yang membuatmu tak bahagia adalah menemukan hidup dinamismu yang hilang.”

“Aku tidak merasa kehilangan apa-apa.”

“Karena itulah, karena kau tak merasakan apa-apa itulah penyebabnya. Seharusnya kau belajar merasakan, dengan bersampan dan memancing kau akan tahu rasanya terasing dalam penantian. Kegembiraan saat harapan umpan termakan datang. Kepuasan pulang manakala penantian berakhir dengan buah tangan_ikan.”

“Jangan terus berucap seolah kau tahu tentang aku.”

“Tebakanku salah?”

“Kau sungguh menghakimi aku!”

“Maaf, aku tidak bermaksud.”

“Seharusnya kau jangan hiraukan aku.”

Kelana memandang sekilas ke danau, “Hari ini sepertinya bisa dapat banyak ikan.” katanya tak mengacuhkan aku.

“Bagaimana jika ternyata pulang dengan tangan hampa?”

“Esok kita coba lagi tuk memperolehnya.”

“Jika hasilnya masih sama?”

“Kehidupan manusia ada batasnya. Penuh keterbatasan. Hanya kesabaran tanpa bataslah yang akan mendapat kemenangan kelak.”

Aku tertegun, namun tubuhku telah bergerak seperti kena hipnotis melangkah ke perahu. Masih setengah ragu-ragu.

“Ada apa lagi?”

“Bagaimana kalau perahunya terbalik? Aku tidak bisa berenang.” kataku jujur.

Dia tertawa, “Oh, jadi itu masalahnya? Baiklah, kalau begitu, kita sekalian belajar berenang.”

Aku menatapnya dengan berjuta pertanyaan.

“Nanti aku ajari, tempatnya danau ini.”

Kenapa dia selalu tahu pikiranku?

“Aku tidak mau!”

“Kau ini keras kepala sekali!” katanya berubah agak keras. “Kau harus bisa berenang agar kau bisa survive di air. Kecuali kalau kau ingin mati di dalamnya.”

Hening. Aku menatap danau yang menari lembut bersama desir angin dengan kosong. Dan dia terus menatapku dalam ketidakmengertian atas sikapku.

“Naiklah!” katanya lagi.

Hipnotisnya begitu kuat. Tiba-tiba aku telah bergerak naik ke atas perahu menempatkan diriku di dalamnya.

Lihat selengkapnya