Hari kedua;
Hhh… aku menghela nafas lega. Menatap punggungnya yang lebar. Teduh dan nyaman.
Beberapa saat kemudian aku segera bangkit mengikutinya, diam-diam mengintip ke dalam, melihat apa yang akan dia masak untuk sarapan pagi ini. Hm, apa ya?
Aku tidak mau terus terkurung rasa penasaran. Aku segera masuk dan duduk di balai-balai.
“Apa yang kau masak?”
“Bubur sagu dengan gula merah.”
“Kau dapat itu dari mana?” tanyaku penasaran.
“Bukankah aku pernah bilang, aku tinggal lama di sini karena di sini menyediakan banyak bahan makanan. Sagu aku panen sendiri, pohonnya ada dibalik bukit itu.” Kelana menunjuk bukit di sebelah kananku.
“Mustahil. Semua kau buat sendiri?”
“Hidup kembali ke alam. Hidup semi primitif, memakai apa yang disediakan oleh alam.”
“Apa itu susu?”
“Susu segar. Kau pasti tidak percaya, aku punya dua ekor sapi yang tadinya adalah sapi liar.”
“Iya, aku tidak percaya. Kau sedang tidak membual, kan?”
Dia tersenyum, “Sebenarnya aku ingin menunjukkan padamu. Sayang hari ini kau sudah harus pulang.”
Aku tercekat. Benar, aku harus pulang. Kemarin aku begitu ngotot ingin pulang. Tapi, saat ini aku berpikir, untuk apa pulang kalau hanya akan mengulang lembar kelam diariku.
Entah kenapa aku merasa aman di sini. Sepi ini, membuatku sedikit tenang. Tak saat di sana, sepiku bermain dengan keresahan.
“Bersabarlah, setelah ini matang, setelah kau makan, aku akan mengantarmu pulang.”
Aku diam. Meski hati berontak tak ingin pulang. Namun aku tak mengungkapkan penolakanku.
“Kau tadi pergi untuk mencari makanan ini?”
Kelana mengangguk, “Untuk makan pagimu yang terlambat, maaf ya.”
“Oh, aku harap tidak merepotkanmu.”
“Apa kau bermimpi terlalu sedih hingga kau menangis?”
“Bukan urusanmu!”
“Kalau yang tadi ini, pasti karena kau takut aku akan meninggalkanmu?”
Aku diam tak bergeming.
“Mengaku sajalah!” dia menggodaku.
“Di sini begitu tenang.” kataku lirih.
“Bukankah itu yang kau cari?”
Aku mengacuhkan dia.
“Kau muak dengan peradaban modern yang banyak tuntutan?”
“Aku hanya tak mau diperebutkan untuk dicampakkan.”
“Kau melarikan diri?”
“Aku hanya muak dengan kepura-puraan kehidupan di sana. Aku ingin menemukan kehidupan yang tak bertopeng.”
“Kehidupan tak bertopeng.” ulang Kelana. “Kehidupan yang mengandalkan cermin diri apa adanya?”
“Kehidupan yang mau tulus menerima aku. Bukan kehidupan bermanis di muka tapi menghunus di belakang.” Hening. Aku menerawang, Kelana pun diam seakan menunggu kata-kata lanjutanku. “Kala itu… kupikir, hanya itu satu-satunya jalan. Berdekap dalam tidur panjang.”
“Apa masalahmu?”
“Bukan urusanmu. Memangnya kalau aku cerita, kau bisa menyelesaikan masalahku?” aku menggeleng.