Hari kedua;
Kelana mengajakku turun ke danau. Kami akan memancing lagi. Tapi sebelumnya dia mengajakku melakukan ritual aneh bertepuk tangan sambil tertawa seperti kemarin di tepi danau. Aku masih mematung melihat atraksinya yang seperti orang gila. Kata Kelana itu terapi tawa yang akan membuatku bisa tersenyum bahkan tertawa. Tawa yang katanya bisa membuat awet muda. Tawa yang katanya bisa menyembuhkan semua luka. Sia-sia cemoohku dalam hati. Aku pun tak butuh awet muda.
Di tengah danau dalam perahu kecil, kami duduk berdiam menantikan umpan kami termakan ikan. Tenang dan syahdu. Sayup-sayup aku seperti mendengar alunan rintihan biola yang menyanyat kalbu. Begitu sendu menggesek hati untuk mengheningkan cipta.
Ikan telah terkumpul. Kelana lalu mendayung perahu ke tepi danau. Jarak kami dengan tepi masih kurang lebih 100 meter. Tiba-tiba tanpa berkata apa-apa Kelana langsung terjun ke dalam danau.
“Kelana!” aku menjerit tertahan.
Kepanikan menyeruak setelah lama dia tidak muncul ke permukaan. Dia seperti larut dalam kumpulan air hingga tak berbekas. Aku beringsut mencoba melihat ke dasar danau. Hanya air, air, dan air saja yang kulihat. Mataku tak sanggup menembus dasar danau ini.
Ada apa? Bukankah dia bisa berenang? Ada apa?
Namun kemudian, air mulai bergolak. Aku begitu ketakutan. Puncaknya ketika secara mendadak sesuatu menyembul dari dalam air tepat di depan mataku.
“Aaah!” teriakku terkejut.
Terdengar suara tawa membahana. Kelana!
“Tolong bantu aku naik.” pintanya kemudian.
Tanpa ragu aku mengulurkan tanganku, meraih tangannya, mencoba menarik tubuhnya yang berat. Tapi, sebuah hentakan telah membuat tubuhku melayang terjun ke danau. Aku panik. Nafas sesak seiring air masuk ke mulut. Sekuat tenaga aku berusaha muncul ke permukaan. Percuma. Aku tak bisa berenang, sampai akhirnya sebuah tangan meraih dan mengangkat tubuhku yang timbul tenggelam menjadi mainan air.
“Berdirilah!” kata Kelana masih memegangi aku.
“Tidak bisa!” berontakku.
“Pijakkan kakimu!”
“Aku…” aku merasa ujung jari kakiku menyentuh sesuatu. Aku mencoba menapak. “Hhh…” Ternyata dangkal.
“Air di sini tidak dalam.”
Aku sungguh malu. Apa yang kulakukan tadi, berteriak-teriak sangat histeris. Kenyataannya, tinggi air hanya sebatas dada saja.
“Apa-apaan kau ini!” runtukku menyusut air dari hidung. Entah berapa banyak air yang telah masuk dalam perutku.
“Cara hebat agar kau mau turun ke danau dan basah.” Kelana menyeringai. “Seperti kataku kemarin, aku akan mengajarimu berenang.”
“Penting?” tanyaku ketika Kelana telah membawaku masuk ke danau.
Dingin menyergap mulai ujung kaki hingga dada. Dingin yang menyegarkan, kombinasi indah antara sinar mentari yang menyorot tajam dengan air permukaan yang menggigilkan.
“Menyelamlah!” ucapnya lalu menenggelamkan dirinya ke air.
“Dingin.” kataku.
Aku diam terus memandang ke arahnya yang semakin tertelan air. Kelana berdiam dalam air. Perlahan kemudian aku menenggelamkan diriku hingga leher. Sensasi dingin ini?
“Hei, tunggu apa lagi?” katanya setelah menyembulkan diri ke permukaan.