Hari ketiga;
Pagi ini aku merasa badanku demam. Aku membiarkan tubuh menggulung dalam sleeping bag seperti kepompong hingga saatnya diri merasa sanggup keluar.
Beberapa kali Kelana memanggil, tak kuacuhkan dia. Biar saja. Yang aku butuhkan hanya tidur. Setelah ini semua akan baik-baik saja. Aku akan normal kembali. Begitu biasanya kalau aku merasa demam kena flu.
“Jelita.” terdengar lagi suara Kelana seperti dalam mimpi saja.
“Sudah siang, bangunlah! Kau harus makan sarapanmu.”
Suara itu semakin menjauh manakala aku terdampar pada masa aku dan Kelana masih kanak-kanak. Kami berdua berlarian di padang rumput dalam rintik hujan. Mengagumkan, pikiran kecil kami berkata. Air tercurah dari langit, siapa yang iseng menyirami bumi dengan ribuan mungkin milyaran atau ketidakberhinggaan air.
Sesekali kami menengadah membuka mulut, membiarkan air masuk menyentuh lidah, gigi dan kerongkongan. Kadang kami meloncat-loncat girang atau menginjak-injak rerumputan dalam kubangan air. Menyenangkan. Masa kanak-kanak memang masa yang paling menggembirakan. Tanpa beban, hanya bermain, bermain dan bermain. Tak ada tuntutan, hanya berkutat dengan imaji-imaji liar tentang dunia dongeng binatang.
“Jelita…” aku setengah terbangun ketika ada yang menyentuh kening. “Minumlah ini?”
“Apa itu?” erangku masih merasakan badanku meradang.
“Obat. Kau demam, Jelita. Minumlah obat ini. Obat tradisional yang dijamin manjur.” kata Kelana panjang lebar seperti penjual obat.
Kelana mengangkat kepalaku dan membantu minum ramuan obatnya.
“Beristirahatlah!” Kelana menyelimuti dan mengompres keningku dengan menggunakan daun. “Maaf, seharusnya aku tak memaksamu turun ke danau. Dan semalam seharusnya tak membiarkanmu mengikutiku, menunggui aku.”
Aku terlalu lemah untuk berkata-kata. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah, kembali memejamkan mata dan berharap bertemu mimpi yang indah.
Tubuh yang rindu kesejukan tiba-tiba mendarat di hamparan rerumputan yang membasah embun. Kedua tanganku merentang menggapai tetes-tetes mungil. Huuf, sejuk dan dingin. Panas yang sebelumnya seakan membakar tubuh luruh terhisap oleh titik embun.
Aku tersentak, sontak membuka mata ketika sesuatu menyentuh kening. Aku semakin terkejut ketika pemandangan dedaunan pohon yang menaungi menghilang berganti dengan nuansa biru yang bukan langit.
Ah, tentu saja! Aku masih berada dalam tenda. Tidur dalam tenda dome setelah minum obat dari Kelana.
“Demammu sudah turun. Apa yang kau rasakan?”
“Aku__aku lebih baik, mungkin hanya terkena flu.”
“Syukurlah,” tanggap Kelana. “Berarti obatku cepat bereaksi.”
“Obat apa yang kau berikan padaku?” tanyaku masih penasaran.
“Oh, itu obat penurun demam yang ampuh.”
“Kau buat dari apa?”
“Campuran antara kunyit dengan madu. Enak bukan?”
“Sedikit getir.”
“Yang penting kau sudah agak baikan.”
**
Aku sudah bergerilya mengikuti Kelana lagi. Aku tak mau tinggal di pondok sendirian. Di akhir nafas aku terhempas di tempat datar dengan pepohonan yang menjulurkan dahan saling bersilang. Lorong pohon, atau boleh kusebut sebagai gerbang pohon.
Lemah dan nafasku sesak. Ada pening tertinggal.
Aku memejamkan mata. Tanganku haus mencari kesejukan di atas rerumputan. Aku mulai mengatur nafas. Menghitung detak jantung yang tidak beraturan. Ah, payah sekali aku ini!
Tiba-tiba ada yang menaruh sesuatu di tangan. Aku tersentak, sontak bangun.