Hari ketiga;
Perjalanan turun terasa sangat cepat. Kami bahkan setengah berlari. Begitu menginjak tanah lembahan yang berumput lembab, Kelana langsung menghambur ke binatang ternaknya. Aneh, mereka bergeming tak menghindar. Kelana mendekat ke anak sapi yang angkuh malu-malu menjaga jarak. Lalu dia berganti ke sapi dewasa lain mengelus tubuhnya, berjongkok dan memeras susunya.
Kawanan kijang di seberang tampak waspada, setelah memastikan yang datang bukan pemangsa mereka menikmati kembali pucuk-pucuk rumput dengan sesekali berkejaran riang. Beberapa ekor kuda yang sedang merumput jauh di ujung padang turut menegakkan kepala menebak siapa yang datang. Musuh atau kawan?
“Kau mau coba?” tawarnya.
Aku menggeleng. Aku lebih merasa aman melihat dari jarak jauh begini, berdiri dekat dari jalur turun. Khawatir binatang-binatang itu akan berubah liar dan menerjang. Setidaknya aku bisa langsung melarikan diri naik kembali ke atas bukit dengan cepat.
Kelana sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia menghampiriku dengan senyum lebar.
“Aku mau pulang sebentar, kau tunggu di sini saja ya?”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Hari ini aku ingin di sini bersama mereka.” mata Kelana beredar ke arah satwa liar yang tak acuh tetap merumput. “Sekaligus mengamati si kecil itu. Atau kau ingin di pondokan saja?”
Aku menggeleng.
“Baiklah,” Kelana langsung pergi begitu saja, setelah dia meletakkan sebuah wadah mirip rantang semacam panci panjang di bawah sebuah pohon besar. “Tunggu ya. Jangan kemana-mana!” pesannya sambil tersenyum.
“Jangan terlalu lama.” pesan balikku.
Dia menoleh sekejap mengacungkan ibu jari. Gerak selanjutnya dia sudah berlari mendaki bukit yang menjadi batas antara lembah satwa liar dengan lembah berdanau.
Kelana telah menghilang dari pandangan, mungkin dia tengah menyeberang lorong pohon lalu menuruni bukit masih dengan berlari. Hahhh… kuat sekali dia.
Aku mulai celingukan. Berteman kesunyian. Aku lalu menepikan diri ke bawah sebuah pohon besar yang rindang. Menatap sapi dengan bayinya yang lucu, kerbau yang terus sibuk makan. Mengawasi kijang-kijang yang lincah meloncat-loncat di rerumputan. Mengagumi kuda-kuda yang mulai berlarian dengan ringkikan yang terdengar samar.
Sebuah dunia yang hilang. The Lost World? Aku sendiri masih belum mengerti bagaimana aku bisa terdampar di sini. Aku sama sekali tak ingat. Yang kuingat hanya senyum Kelana saat pertama membuka mata. Jangan-jangan aku sedang bermimpi?
Riuh padang ilalang, mencerahkan mataku. Tidak lagi buram, hanya hitam putih yang melintas, hanya hitam putih yang tak mau berkawan. Terasa menjemukan dulu itu.
Aku mendesah. Di balik kesunyian ini, entah kenapa aku merasa sangat nyaman, aman. Apalagi ketika dia ada di dekatku. Bibirku tiba-tiba tertarik ke dua sisi, melengkung kecil. Aku meraba bibir. Jadi begini bentuk senyumku. Aku segera merapatkan mulut. Kelana pasti akan mengolok jika melihatku tersenyum.
Aku merasa ringan. Senyum tadi telah merubah warna hati. Aku merasa ada titik terang meneropong hatiku yang semula pekat. Oh, tersenyum itu benar-benar membuatku melayang. Semua tampak sedang menyapaku. Mengucapkan selamat karena mulai saat ini aku bisa tersenyum kembali.
Benarkah aku sedang bersuka? Kata orang, senang, suka adalah sobat sejati senyum. Adapun duka senantiasa berteman dengan air mata. Lalu sobatku? Selama ini aku hanya berteman dengan air mata musim kemarau. Entah di mana gerangan sobat sejati senyum itu.
Namun hari ini, di lembah lapang ini secara tidak sengaja aku melihatnya. Hatiku terbuka hingga bisa menemukan persembunyian sobat senyum yang selama ini berusaha aku cari. Lalu kami bercerita, bercerita tentang Kelana.
“Terimakasih.” gumamku sambil tersenyum.
“Jelita!!! Aku dataaaaang!” terdengar sebuah teriakan dari atas bukit. Kelana? Cepat sekali.
Aku berdiri menyambutnya. Tak lupa senyum yang baru saja kudapat tersungging kecil. Kelana berlari menuruni bukit dengan tas rangsel dipunggung.
“Jelita, kau kenapa?” tanyanya ketika sudah ada di depanku. “Kau benar-benar sudah sembuh?”
“Apa?” aku langsung mengatupkan bibir.
“Coba kau ulang ekspresi tadi!”
“Ekspresi mana?”
“Saat aku datang tadi.”
“Aku sudah lupa.”
“Apa aku melihat seutas senyum?” dia menggosok matanya. “Mungkin aku sedang berilusi. Berfatamorgana karena aku sungguh ingin melihat senyummu.”
“Apa yang kau bawa?” aku menunjuk tas rangsel yang dia bawa dengan isyarat mata.
“Peralatan masak, bahan makanan.”
“Cuma itu?”