Hari ketiga;
Matahari mulai sembunyi di balik bukit saat aku dan Kelana berjalan di tengah-tengah padang rumput. Lebih mendekat ke kawanan kijang yang tengah merumput dan kuda-kuda liar yang sedang melepas dahaga di sebuah oase padang rumput. Sumber air kecil dengan diameter cuma lima puluh sentimeter. Perlahan-lahan mereka menghindar.
“Apa kita mengganggu mereka?”
“Kita hanya lewat. Tidak apa-apa, mereka tidak benar-benar ketakutan. Hanya menjaga jarak saja dengan kita.”
“Begitu?”
Kami melewati oase padang rumput yang menyisakan kawasan becek berlumpur di sekitarnya. Seperti sedang berjalan di sawah yang baru tanam.
“Huh…!” keluhku ketika aliran dingin menyergap kulitku. Dan yang pasti celanaku jadi kotor terkena lumpur.
“Kenapa? Takut kotor?”
“Ha?” aku menoleh pada Kelana. Memang aku memijak tanah dengan hati-hati berharap celanaku nanti tidak terlalu kotor. Aku tidak menggubrisnya, masih tetap berusaha menjaga kebersihan bagian bawah celana yang sudah kotor.
“Dasar anak kota.” keluhnya sambil tersenyum.
Akhirnya rawa-rawa kecil itu selesai kami lewati. Lega sekali rasanya. Beberapa meter di depan, tampak pepohonan seakan menjadi batas habisnya padang rumput.
“Kita ke pohon itu!” tunjuk Kelana pada sebuah pohon yang posisinya agak menjorok ke depan. Dengan sigap Kelana langsung memanjat pohon itu.
Aku memperhatikan Kelana yang sedang berada di atas pohon. Dahan yang dia pijak tampak berayun-ayun. Bagaimana kalau patah, beban tubuhnya terlalu berat untuk pohon dengan dahan yang tak besar. Terus terang aku sangat khawatir dengan posisinya itu.
“Jelita, tangkap!” teriak Kelana.
Sebuah apel hijau melayang ke arahku. Dengan gagap aku menangkapnya, ups! Apel itu jatuh dari tanganku. Kelana tertawa, aku memungut apel itu.
“Makan saja!” teriaknya lagi.
Aku menggosok apel tadi ke baju lalu menggigitnya. Aku lihat Kelana juga sedang menikmati sebuah apel di atas. Bersamaan dengan operasinya memetik buah-buah yang sudah tua dan memasukkannya ke dalam tas.
“Bagaimana, manis?”
“Sedikit asam,” jawabku jujur. “Siapa yang iseng menanam apel di sini?” tanyaku.
“Tuhan.”
“Oh, apa cuma ada satu pohon ini?”
“Satu ini pun sudah cukup untuk menghidupi mahluk yang ada. Di sini bukan peradaban manusia yang rakus. Menakjubkan bukan, tempat ini?”
“He-em, dan aku masih belum yakin dengan keberadaan tempat ini. Apa ini surga?”
Kelana tertawa, “Orang-orang pendosa macam aku dan kau tidak mungkin di surga.”
“Lalu, apa ini negeri dongeng?”
“Bukan juga, sebab kau tidak akan menemukan Cinderela, Putri Salju, dengan kurcacinya, Dewi Nawang Wulan atau Nirmala dengan Oki yang jahil.” Kelana tersenyum.
“Jika bukan, ini berarti dunia ajaib dengan segala tersedia.”
“Mungkin, tapi ini masih di bumi. Bagian bumi yang jarang terjamah manusia. Bagian bumi pada sisi misterinya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Masih ada tempat lain yang lebih menakubkan lagi. Kau ingin ke sana?”
“Kau sudah menjelajahi seluruh kawasan ini?”
“Belum semua, keterbatasan sebagai manusia membuatku belum bisa menjamah seluruh kawasan ini. Dan aku tak mau terlalu rakus ingin menjamah semua. Cukuplah yang terjangkau saja.”
“Kalau begitu petiklah yang terjangkau saja.” kataku. “Jangan paksakan hingga ke pucuk, dahan itu tak cukup kuat untuk tubuhmu. Kau bisa jatuh Kelana.”