Hari keempat;
Pagi ini aku yang memasak sarapan pagi. Kelana cukup kaget ketika pulang dari padang ternak, sarapan pagi telah tersaji di balai-balai.
“Kau yang membuat?”
“Iya, siapa lagi?”
“Rupanya bisa masak juga.”
“Kalau cuma membuat bubur sagu, aku bisa. Tapi, maaf alat masakmu sedikit hangus.”
Kelana tampak mengernyit melihat ke alat masaknya. Tapi kemudian dengan cuek dia melahap bubur semi hangus itu sampai habis.
“Bersiap-siaplah, Jelita. Aku akan mengantarmu pulang.”
“Pulang?” ulangku dengan nada meninggi. Entah kenapa aku jadi kesal mendengar kata-katanya yang seolah mengusirku. Aku baru saja merasakan ketenangan dan kedamaian, kemudian tiba-tiba dia menginginkan aku pergi. “Jadi sekarang kau mengusirku?”
“Aku pikir kau sudah siap untuk pulang.”
“Kau bilang akan membantu aku mencari kehidupan tak bertopeng, kehidupan yang yang bersemi dalam jujur.” hening, aku menatap dia tanpa berkedip. “Dan kau pun meminta aku tuk membantumu membuang kunci dan peta harta karun penyesalanmu. Apa kau lupa?”
“Jelita…”
“Kau juga bilang akan menunjukkan tempat-tempat menakjubkan yang pernah kau singgahi. Apa semua itu hanya omong kosong?”
“Aku hanya memenuhi keinginan awalmu sebelum sakit. Aku baru sadar, aku salah telah mencegahmu pulang dan menunda-nunda saat kepulanganmu.”
“Kau tidak salah, Kelana. Karena aku yang menginginkan tetap tinggal di sini. Kau tahu… aku mulai merasakan ketenangan dan kedamaian yang kurindu. Aku pun sudah bisa merasakan getar aneh yang menyulut senyumku. Kebahagiaan ini. Rasa bahagia yang dulu pernah aku lupa. Tolong Kelana, biarkan aku semakin mengerti arti bahagia ini. Bantu aku mencari kehidupan tak bertopeng itu. Biarkan aku membantumu membuang kunci beserta peti harta karun penyesalanmu.”
Kelana diam. Dia hanya terus memandangku yang menatapnya dengan isyarat memohon.
“Apa aku mengganggumu?”
Kelana menggeleng, “Tidak.”
“Apa aku merepotkanmu?”
Kelana kembali menggeleng, “Tidak juga.”
“Apa aku telah menyinggung dan berbuat salah padamu? Apa karena aku telah menghanguskan alat masakmu.”
“Tidak ada, tidak, Jelita. Hanya…”
“Hanya apa? Kalau memang ada alasan kuat aku akan menurut padamu. Atau beri aku waktu agar kelak saat kembali aku telah menjadi seorang Jelita yang baru, Jelita yang jelita dengan senyum bahagia.”
“Hanya saja, aku tak mau kau mendapat kutukan penyesalan yang sama denganku.”
“Kutukan penyesalan?”
“Aku ini orang terkutuk Jelita.”
“Kutukan apa? Siapa yang mengutukmu?”
“Aku yang mengutuk diriku sendiri.”
“Kau, dirimu? Kenapa?”
“Kau tidak akan mengerti.”
“Jika tak kau cerita mana aku tahu.”
“Itu masa lalu yang tidak ingin kuingat.”
“Ternyata kau orang munafik juga.” kataku sinis.
“Mungkin,”