Hari kedua;
Mataku sangat berat untuk dibuka, meski aku tahu tirai malam telah tersibak oleh penguasa siang dengan terangnya. Dingin kurasa. Sedingin hatiku yang membeku. Mentari pagi ini tak sanggup rupanya menembus pekatnya jiwaku.
Kemarin,
Aku silap. Kalap. Aku berlari menjemput sesuatu yang kuanggap akhir dari takdirku. Kenyataannya, aku justru terdampar di sini. Enggan bangkit membiarkan tubuh turut membeku oleh hawa.
Pikiranku terbang kembali ke dunia nun jauh di sana. Terngiang teriakan-teriakan yang menyudutkan. Tangisan-tangisan penuh kebencian disambut tawa-tawa kemenangan yang menjijikkan. Ah, muaknya.
Terdiam aku membisu menjadi saksi deru gempita kehidupan yang penuh caci maki. Menjadi penonton adegan drama fiksi yang menyentuh sekaligus menggelikan. Bohong sekali!
Lalu,
Datang seorang malaikat penolong bagiku. Sangat manis ia, mengajakku berkenalan dengan dunia lain. Kenyataannya, aku hanya laksana boneka yang ia mainkan ketika bosan lalu dibuang.
Aku ternganga. Tak ada yang nyata, semua maya. Datang dan pergi sekehendak hati tanpa mau melepas topeng mereka.
Sekarang,
Dalam mata terpejam, aneka bayangan berlarian menghunusku, memberi luka. Mengembangkan layar hitam. Menampilkan adegan perang tanpa darah berceceran. Namun kepingan hati terserak di mana-mana.
Pagi ini,
Saat mata sukar terbuka, anakan sungai yang dulu mengering tiba-tiba membanjir dan menetes lewat celah mata. Apa ini? Air matakah? Benarkah sekarang aku bisa menangis?
Aku biarkan diri tenggelam dalam lautan duka. Bendungan kesabaran tanpa tangisan hancur sudah. Mengisak kekeluan yang dulu tersimpan. Menangislah, menangislah Jelita. Jangan takut orang akan melihat kerapuhanmu. Sudah cukup kau berlagak tegar, menangislah agar kau menjadi manusia berhati.
“Jelita…” sayup-sayup kudengar suara memanggil namaku. Tolong jangan ganggu pertemuan indah ini.
“Jelita, kau tidak apa-apa?” suara itu lagi. Pergilah!
“Jelita, kau kenapa?”
Aku tersentak menegakkan badan. “Siapa itu?” tanyaku serak.
“Aku, Kelana. Kau baik-baik saja?”