Hari keempat;
“Jelita, Jelita!”
Aku tersentak, “Ya!?” aku menyibak rambut yang menutupi sebagian mataku.
“Aku sudah dapat dua potong kayu. Aku akan membawa salah satunya ke pondok, kau menunggu di sini atau ikut pulang ke pondok?” tawarnya.
“Kemana? Pulang.” sahutku setengah linglung, ternyata aku tertidur juga akhirnya.
“Baiklah.” katanya berlalu dariku menuju batang kayu yang kulihat sudah menjadi tiga potong gelondong. Dua potong merupakan potongan gelondong kecil yang kelihatannya siap angkut.
Kelana mengangkat sebuah potongan gelondong kecil. Meski kecil tapi aku tahu, itu pasti berat.
“Ayo!” ajaknya ketika melewati tempatku berdiri.
Aku menguntit dia dari belakang. Mengagumi keperkasaannya, memanggul gelondong kayu kecil di bahunya.
Berjalan menuruni pinggiran bukit tanpa jalan setapak yang jelas, cukup sulit. Kalau tidak hati-hati bisa terperosok jatuh. Tergelincir oleh daun-daun mati yang membasah di tanah. Dan aku sudah dua kali jatuh terduduk karenanya.
Setiap bunyi gedebuk, Kelana menoleh ke arahku. Bergerak ke arahku sambil senyum-senyum membantuku bangun. Satu dua kali tak masalah dibantu. Tapi kejatuhanku sudah beberapa kali, aku tahu diri, aku tak mau terus merepotkannya dengan menambah bebannya. Begitu jatuh aku langsung berusaha bangun dengan cepat.
“Hati-hati!” katanya mengingatkan.
“Aku tidak apa-apa. Ayo, jalan lagi!”
“Kalau kau jatuh sekali lagi, sepertinya kau akan dapat hadiah dariku.” kata Kelana sambil jalan.
BUUGH!
“Aaauh!”
Spontan Kelana menengok ke belakang. Aku meringis menatap ke arahnya.
“Kau akan beri hadiah apa untukku?” kataku sambil bangkit.
“Tidak sengaja menjatuhkan diri?”
“Memang suka apa, jatuh begini?”
“Baiklah, hadiah apa ya?” Kelana berbalik jalan lagi. “Padahal aku kira kau tidak akan jatuh lagi.”
“Ups!” seruku ketika kakiku selip sebelah sambil memegang sebuah tanaman semak. “Aagh!” aku segera melepaskan tanaman itu. Ada rasa perih menggigit kulit telapak tangan.
“Hei?” Kelana meletakkan gelondong kayunya, menghampiri aku. “Itu tanaman berduri. Jangan asal pegang!”
“Aku nyaris jatuh!” salakku.
Kelana memeriksa tanganku, “Tak ada duri yang masuk. Perih?”
Aku mengangguk.
Kelana membersihkan telapak tanganku dengan meniupnya. Kemudian tanpa aku duga dia meludahi telapak tanganku,
“Eh!” aku langsung menarik tanganku. “Apaan sih!”
Kelana menarik lagi tanganku, “Pertolongan pertama, ludah mengandung zat yang bisa mencegah infeksi dan menghentikan pendarahan kecil, seperti luka gores ini.”
Aku diam mendengar ocehannya dan menurut saja ketika dia mengolesi luka sayatan kecil itu dengan ludahnya.
“Nanti di pondok kita obati lagi.”
Perjalanan kami lanjutkan. Akhirnya sampai juga di tepi danau. Setelah menyusuri danau kurang lebih dua ratus meter barulah sampai di pondok putih kami.
Kelana meletakkan gelondong kayu di samping pondok sebelah danau. Sementara aku menuju tepi danau untuk mencuci tangan.
“Kemarikan tanganmu!” suara Kelana sudah terdengar begitu dekat di belakangku.
Aku menoleh. Dia sudah membawa kotak P3K.
Kelana jongkok di sebelahku. Menyiapkan obat luka dan kapas. Meraih tangan kananku yang tergores duri dan mengoleskan obat luka itu sambil meniup-niup telapak tanganku.