Hari kelima;
“Kita mau kemana?” tanyaku di tengah perjalanan.
“Kau akan lihat sendiri nanti.”
“Tempat macam apa itu?”
“Bersabarlah sedikit,”
Aku lalu diam, terus menginjaki bayangannya.
Kami menyisir benteng bukit sebelah kanan padang penggembalaan kerbau dan sapi Kelana menantang matahari. Sebuah bukit dengan selimut rumput. Tak seperti bukit tetangganya yang beratap mahkota pepohonan, bukit ini kurang rimbun.
Kami masih meniti jalan setapak pada punggungan yang sama. Melangkah membelah antara rerumputan dan semak liar. Menyajikan bunyi gesekan lembut yang menemani kesunyian kami.
Tiba-tiba Kelana berhenti.
“Lihat!” Kelana menunjuk ke angkasa. “Elang!”
Aku memicingkan mata, menepis silau dengan tangan kupayungkan di atas mata. Melihat ke angkasa dengan takjub.
Seekor elang melayang berputar, membentangkan sayapnya yang lebar seakan dialah sang penguasa langit. Kadang menukik ke bawah, sekejap kemudian telah naik lagi hendak menembus birunya langit. Manuver yang indah. Aku jadi ingat pada pertunjukan manuver pesawat tempur Angkatan Udara. Pasti mereka meniru gerakan elok Sang Elang itu.
“Sudah sangat jarang elang terlihat. Semoga dia tetap terlindungi oleh alam.”
Aku terus memperhatikan elang itu. Tanpa sadar Kelana telah jauh berjalan. Aku pun berlari kecil mengejarnya.
“Masih jauh?” tanyaku memecah kesunyiaan.
“Sebentar lagi. Kalau kau lelah kita istirahat di depan.”
“Aku belum lelah, lebih cepat sampai lebih baik.”
Seperti hari kemarin, hawa dingin berhasil ditepis oleh penguasa siang yang masih ramah. Menimbulkan kombinasi hawa yang nyaman. Membuatku kuat berjalan tanpa takut kepanasan, kehausan sangat.
Kelana membawa langkahku ke kiri ketika kami sampai pada perpotongan bukit. Ada dua jalan setapak. Satu ke kiri yang membelah pertemuan dua bukit. Satu lagi terus terhubung menyeberang ke bukit lain yang masih membentang ke depan.
Kami membuat garis tengah pemisah antara dua bukit kurang lebih limaratus meter dengan jalan landai. Pada batas tepi garis terakhir warna-warni dalam kombinasi sempurna menyergap mataku.
Lembah dengan aneka bunga menebar ke seluruh hamparan padangnya. Pohon-pohon yang berbatang dan berdahan antik, menelikung kesana kemari meliuk-liuk bagai tangan yang menari menjadi ornamen penghias bagi taman bunga itu.
“Jelita!” panggil Kelana ketika aku terpana memandang ke lembah berbunga itu.
“Indah sekali!” pekikku.
Kelana tersenyum, “Ayo, jangan cuma mematung begitu. Kita turun.”
“Ini bukan mimpi, kan?” gumamku seraya menepuk pipi. “Iya, terasa tepukannya, ini sungguh nyata!”
“Jelita!” terdengar suara Kelana begitu jauh.
Aku mencari Kelana yang tadi berdiri dua meter dariku. Tak ada. Sosok itu, sosok yang di bawah itu. Kelana?
Aku bergegas menuruni bukit mengikuti jalan setapak sebelah kanan. Setengah berlari aku meniti turunan landai agar segera sampai ke bawah. Menyongsong keceriaan yang terpancar dari aura bunga yang bermekaran menguar harum.
Sekejap kemudian aku telah merasa bahwa tubuhku teramat ringan.
“Hei, aku terbang!”
Aku melihat ke samping kanan-kiri tubuhku. Oh tidak! Sebuah sayap indah transparan mengepak, tumbuh dari bagian punggungku.
“Selamat datang, peri bunga!”
“Selamat datang peri bunga!”
Telingaku sontak dipenuhi sapaan aneh. Peri bunga? Akukah yang dimaksud suara gaib itu?
Darimana suara itu berasal. Dari bunga-bunga yang cerah itukah?”
Aku menatap Kelana yang tetap berwujud manusia. Dia mengangguk tanda mengiyakan pada kebenaran yang telah merubah aku.
Lihat!
Tubuhku begitu mungilnya. Aku bahkan sedang terbang mengitari tubuh Kelana. Bermain di sela rambutnya.
Lihat!
Baju yang kupakai sangat cantik. Gaun serupa kelopak bunga menjuntai-juntai selutut berwarna merah, senada dengan sayap yang berpola merah muda, bercorak kuning keemasan.
“Apa aku cantik?” tanyaku pada Kelana di depan hidungnya.
“Sangat cantik.”
Aku mengerjap senang lalu terbang meninggi, bersama tarian kupu-kupu yang menyambut hadirku dengan hangat. Aku terus terbang mengangkasa, berputar-putar, meniru gerak manuver elang yang tadi kulihat. Merasakan sapuan lembut hawa yang segar. Sayang gerakku terlalu gemulai.
Ah, aku tak bisa segagah ia! Lesatku tak cepat. Manuverku hanya menebar keindahan. Tentu saja, karena aku adalah peri bunga.
Aku mulai berlompatan dari satu bunga ke bunga yang lain. Menciumi wanginya atau mencecap sedikit nektar yang mereka saji untukku.
“Silakan, peri bunga!”
“Silakan mampir, peri bunga!”
“Wangiku bisa menyembuhkan luka!”
“Dan wangiku bisa membuat hidup Anda terus bahagia.”
“Maduku membuat Anda akan tampak senantiasa cantik.”
“Dan maduku membuat sayap Anda kuat tuk terbang jauh.”
Aku mencoba semua yang mereka__ bunga-bunga tawarkan. Aku bagai ratu, tentu saja aku ini ratu bunga, bukan?
“Terimakasih, terimakasih…” ucapku setiap selesai berkunjung ke sebuah kuntum bunga.
Aku terus terbang dan melompat ke sana kemari. Menari, bernyanyi bersama bunga dan bayu. Bermain petak umpet dengan kupu-kupu ramah. Sesekali terbang meninggi tuk melihat wajah tampan Kelana.
Masih sama. Kelana masih duduk di bawah pohon dipeluk dahan meliuk-liuk menyentuh tanah. Masih sama. Dia terus memperhatikan aku yang sibuk bercengkerama dengan kawan-kawan dunia baruku.
Oh… Kelana… dia pasti kesepian. Aku terbang sambil terus memandangi Kelana. Senyumku tanpa sadar pudar dari mulut. Tiba-tiba aku merasa lemah dan lunglai.
Aku terbang merendah, memijak bunga yang berwarna nila.
“Ada apa wahai, peri bunga? Apa jamuan kami kurang berkenan?”
Aku menggeleng lesu.