Hari Kelima;
Hening mengalun. Angin sepoi meniup halus, seakan menebar lagu nina bobo yang syahdu. Sayang, pikiranku terlalu padat tuk mengantuk. Kubiarkan pikiran menjelajahi rekaman hari-hariku selama bersama Kelana. Mencoba menerka maksud dibalik semua kebaikan Kelana.
Kosong. Matanya, senyumnya begitu polos berujar.
“Kelana.” panggilku. “Kenapa kau baik padaku?”
Tak ada sahutan, “Kelana!”
Apa dia tidur? Aku menyentuh kakinya, “Kelana, kau tidur?”
“Hah, ada apa?” dia terkejut, seperti habis bangun dari tidur, dan… ”Ahg!!!” Kelana jatuh dari dahan yang menopang tubuhnya.
“Kelana!” teriakku dalam rasa bersalah yang besar. Tanpa sadar aku sudah terjun ke bawah. Ajaib, aku bisa melakukannya tanpa perasaan takut, bahkan aku tidak terluka.
“Maaf.” kataku lemah pada Kelana yang jatuh telungkup mencium tanah.
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hei, tapi kau hebat juga bisa melompat turun.”
Aku mendongak ke dahan pohon yang tadi menopangku. “Hah, mengerikan!” desisku membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja aku alami, saat melompat turun tadi. Memar-memar, gegar otak atau patah tulang.
“Maaf.” kataku lagi. “Gara-gara aku, kau jadi terjatuh.”
Kelana tersenyum, “Sudahlah, jangan dibesar-besarkan.”
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa lemas sendiri.
“Manusia kalau dalam keadaan sulit selalu bisa melakukan apa yang dia takuti ya? Coba aku tidak jatuh. Kau pasti merengek padaku minta dibantu turun.” Kelana tertawa terkekeh.
“Kau tahu, kau sudah membuatku sangat khawatir.”
“Benarkah?”
“Kalau kau tidak ada, aku akan sendirian.” aku mencoba untuk tidak menangis meski terasa kelu.
“Kau mau lihat sungainya tidak?” tawar Kelana setelah bangkit dari duduk.
Aku mengangguk.
“Baiklah, kita terbang ke sana.” kata Kelana berlari kecil dalam posisi mundur, menghadap aku. “Ayo!”
Kami berkejaran menuju garis pembelah padang bunga. Kelana berlari merentangkan kedua tangannya seolah dia benar terbang. Aku berusaha mengejarnya, meski dia selalu menghalang-halangi tidak boleh mendahuluinya.
Nafas semakin tersengal memburu. Untunglah kami sudah mencapai tepian sungai. Aku membungkukkan badan mengatur nafas. Aku menoleh pada Kelana yang berjongkok dan meminum air sungai itu.
“Kau meminumnya?”
“Iya, segar sekali.” sahutnya menyeringai.
“Air yang belum dimasak, dari sungai?”
“Air ini masih suci, Jelita. Belum banyak yang menjamah. Bersih, terjaga dari dahaga kuasa manusia.”