Hari keenam;
Pagi buta Kelana mengajakku menyisir tepi danau sebelah utara. Kelana bilang akan mencari persediaan makanan yang sudah menipis. Hutan pegunungan bawah atau hutan submontana menurut Kelana kaya vegetasi dan bahan makanan bagi hewan maupun manusia. Khususnya pada hutan hujan tropika seperti di Indonesia.
Kami tiba di pertemuan dua bukit ketika matahari telah memanjangkan bayangan pohon. Terjepit pada dataran sempit dengan dua bukit membuatku miris teringat film penyamun atau perang. Biasanya mereka akan menyergap para pedagang_musuh dari depan dan belakang. Tak memberi ruang untuk melarikan diri. Bukit kanan-kiri sangat curam untuk didaki. Mereka akan menebas habis hingga tidak ada nafas terhembus dari manusia malang yang terkepung.
“Kelihatannya matahari selalu menghilang di sini.” kataku menunjuk akhir pertemuan ujung barat.
“Berarti kita telah mendahului matahari sampai di tempat tidurnya.” kata Kelana.
Kelana mulai merintis jalan. Golok yang dia sandang telah banyak menghabisi tanaman yang melintang mengganggu jalan. Matanya nyalang mencari-cari sesuatu.
Kata Kelana lembahan ini banyak binatang liar seperti ayam hutan atau tupai yang bisa diburu untuk bahan makanan. Kebutuhan tubuh kami akan protein hewani yang berlemak mendorong tubuh kami bergerak jadi pemangsa.
“Kita buat jerat di sekitar sini.” kata Kelana setelah memastikan dengan mengamati tanah untuk melihat jejak dan menyiapkan sebuah tali kecil dari sulur yang dia temui sewaktu menebas-nebas membuka jalan.
“Apa ini akan berhasil?” tanyaku.
“Berdoa saja. Kita pasang beberapa jerat agar salah satunya bisa kena. Besok pagi-pagi kita cek, siapa tahu salah satu jerat ada yang berhasil menjebak mereka.” katanya sambil terus menyusun strategi penjeratan model lubang jerat.
Tangan terampil Kelana menari-nari di antara jalinan tumbuhan kecil yang lentur. Gesit mengikatkan tali sulur dari tanaman merambat membuat lingkaran di atas tanah menjadikannya perangkap yang sempurna. Tak lupa umpan berupa biji-bijian dia tebar sekitar lingkar jerat.
“Aku tidak melihat ada ayam,” ucapku pesimis.
“Aku sering mendengar kokok ayam jantan di pagi buta. Dan yang pasti aku telah beberapa kali makan daging ayam hutan itu.”
“Kalau sampai kena hewan lain seperti babi hutan atau macan?”
Kelana tersenyum, dia bangkit lalu berjalan lagi mencari area pemasangan yang lain. Aku laksana ajudan yang justru harus dilindungi dan dilayani oleh sang Komandan.
“Apa macan suka biji? Kau lihat, ini jerat kecil. Binatang besar tidak akan terjerat.”
“Oo…begitu. Kau tahu kan babi itu haram juga menjijikkan. Kalau macan, terlalu menyeramkan. Apalagi kalau ada kijang nyasar, kasihan. Eh, apa di sini ada macan?” aku mulai bergidik tengok kiri-kanan.
“Kalau pun ada mereka akan takut melihatmu.” kata Kelana tertawa.
“Mana mungkin!” sangkalku.
“Mereka akan menyerang kalau keberadaan mereka merasa terusik.”
“Eh, ada monyet!” seruku menunjuk ke atas pohon. Seekor monyet kecil tampak berlompatan dari satu dahan ke dahan lain menjauhi kami.
“Tuh kan, monyet yang saudaramu saja langsung kabur begitu melihatmu.”
“Dia hanya iri saja karena aku cantik.”
Kelana tertawa, “Bisa bercanda juga kau rupanya?”