Hari Keenam;
Lengkingan ceracau monyet-monyet itu terdengar mengusir sunyi hutan. Melompat dari satu dahan ke dahan lain, bercengkerama dengan riang.
“Ceria sekali.”
“Sayangnya rumah__tempat bermain hewan-hewan ini telah banyak yang dijarah manusia. Penebangan liar telah menggusur tempat tinggal mereka.”
“Apa binatang-binatang lain ikut tergusur? Adakah ganti ruginya?”
“Tidak ada. Ayo!”
Kami meniti punggungan lagi. Dan Kelana tetap sibuk dengan goloknya. Membuat jalan untuk Tuan Putri Jelita.
“Lalu kemana mereka akan tinggal?
“Dalam lorong-lorong kematian.”
“Kasihan.”
“Lama-lama mereka akan punah dengan sendirinya. Itu belum termasuk kebakaran hutan.”
“Selain menghabisi lahan hutan. Kebakaran juga memunculkan kabut asap yang menyesakkan. Hebat! Menyedihkan!”
Aku mengangguk-angguk.
“Aku sama sekali tidak mengerti dengan pemikiran mereka. Manusia yang datang dari peradaban. Para penjarah hutan.”
“Bukankah, kita juga penjarah hutan?”
“Tapi kehadiran kita tidak untuk menghancurkan. Kita hanya mengambil secukupnya, untuk hidup. Untuk bertahan hidup dari kelaparan.”
“Kudengar mereka juga berdalih demikian. Untuk bertahan hidup, biar dapur tetap ngebul, mereka harus menebang kayu lalu menyulapnya jadi uang untuk keperluan hidup.”
“Jelas beda.”
“Intinya sama untuk bertahan hidup.”
“Tujuannya beda. Kayu yang mereka ubah menjadi uang bisa memperkaya mereka. Membutakan mata mereka, hingga mereka bertindak sewenang-wenang mengeksploitasi alam sedemikian rupa. Tentu saja, demi uang yang awalnya hanya untuk bertahan hidup. Sementara aku. Aku tidak butuh uang untuk hidup, untuk jadi kaya dan gelap mata. Aku hanya ingin menyelaraskan hidupku dengan alam. Mengambil apa yang disediakan alam, secara mutualisme.”
“Simbiosis mutualisme?”
“Seperti orang Mentawai dan Suku Dayak.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Masyarakat Mentawai selalu menjaga keselarasan dengan alam. Mereka selalu mengganti sesuatu yang telah mereka ambil dari alam, dengan menanam kembali pohon atau tumbuhan yang sudah mereka tebang. Tak beda dari orang Mentawai, Suku Dayak malah mendapat julukan si penjaga hutan. Ada sebuah peraturan adat yang hanya memperbolehkan satu keluarga menebang sebanyak 30 pohon dalam setahun. Seperti orang Kampung Naga, Suku Dayak juga punya hutan larangan.”
“Hebat sekali mereka, sayang mereka hanya minoritas ya?”
“Tak heran jika iklim sekarang berubah jadi tidak wajar.” Kelana menoleh sambil tersenyum. “Di saat musim hujan, bencana banjir, tanah longsor menghias di mana-mana. Kemudian giliran kemarau datang, air jadi seharga emas. Sudah sejauh ini masih saja mereka tidak sadar kenapa bencana selalu datang bertubi-tubi. Yeaah, itu hukuman lagi bagi mereka.”
“Lagi-lagi hukuman.”
“Hukum alam tidak akan pernah berhenti mengadili. Parahnya alam tidak mengerti arti pengecualian tidak bersalah. Semua akan kena, sebagai bahan peringatan.”
“Kejam sekali.”
“Kejam mana? Antara keinginan mewariskan keindahan dengan keinginan mewariskan puing-puing keindahan?”
“Apa perlu aku jawab? Kurasa jawabannya sudah jelas.”
“Coba mereka bisa mengerti perasaan alam. Mereka selalu bangga bisa menyediakan keperluan hidup bagi manusia. Tanpa pamrih besar, cukup dengan memperhatikan dia saja, merawatnya setelah kita menggerogoti tubuhnya hingga luka.”
“Ternyata dia begitu rapuh dan terluka dibalik kelebatannya.”
“Penampakan luar selalu menipu. Seperti kau.”
“Kenapa aku?”
“Siapa sangka gadis yang tampak begitu sempurna, seharusnya berbahagia justru terkurung kerapuhan dan penuh dengan luka.”
“Itu menurutmu.”
“Yeaah.”
“Lukaku lebih dalam dari ia. Aku tidak bisa menghukum, akulah yang selalu terhukum.” aku menghentikan langkahku. “Sepertinya aku datang ke tempat yang salah.” aku memandang berkeliling.
“Kenapa?” Kelana menengok ke arahku, ikut menghentikan langkahnya.
“Aku datang ke tempat yang penuh luka. Rapuh… seharusnya… aku terlalu banyak berharap darinya.”