Hari ketujuh;
Hari ini Kelana bilang akan membawaku ke air terjun pelangi dan kolam bidadari. Sepertinya ini sogokan agar aku melupakan tragedi kemarin. Kelana ingin membuatku riang kembali. Dan berhasil! Aku bersorak girang melupakan mimpi buruk yang semalam datang mengunjungiku lagi.
Air terjun pelangi dan kolam bidadari. Kupikir itu hanya ada dalam dunia khayal saja. Imaji dalam dongeng anak-anak yang melambungkan. Sungguh aku sangat penasaran ingin segera melihatnya. Seperti apakah?
Rute yang kami ambil melewati padang bunga. Kemudian menyusuri sungai pembelah padang bunga menikung ke utara. Awalnya sangat mudah ketika masih berada di kawasan padang bunga. Setelah padang bunga habis, kami mulai mendaki sebuah punggungan landai nan terjal. Banyak batu-batuan besar menyerupai tebing yang cukup menghambat langkah. Setidaknya aku harus berhati-hati jika tak ingin jatuh tergelincir.
Dengan sabar Kelana menuntunku, menunjuki tiap pijak langkah kakiku.
“Ini jalan yang aku tahu, juga jalan pintas tercepat.” kata Kelana setelah aku berhasil naik sebuah tebing kecil. “Setelah ini akan semakin sulit. Vegetasi akan semakin rimbun.”
“Apa jarang yang datang ke air terjun itu?”
“Iya. Air terjun itu sengaja disembunyikan oleh alam. Takut terlihat kerakusan manusia.” Kelana memandang ke atas, melakukan pengamatan, mencari jalur yang paling mudah untuk dilewati. “Kau siap?”
“Lanjut saja.”
Sungai yang kami susuri semakin menjadi berkurang lebarnya. Sisi kanan-kiri sungai kadang berupa tebing-tebing yang menjulang berupa pagar tebing batu atau tanah.
“Awas licin!” Kelana memperingatkan aku.
Batuan-batuan yang kami lewati sebagian berlumut. Tingkat kelicinan semakin tinggi. Pergerakan kami benar-benar pelan. Setiap pijak seakan kami hitung satu persatu.
“Kau nanti jangan kaget kalau mendapati kakimu berdarah.”
“Kenapa?”
“Area ini banyak pacetnya bahkan lintah.” Kelana menengok ke arahku. “Hei?”
Aku berhenti langsung memeriksa kaki. Mendengar namanya saja aku sudah bergidik. Apalagi kalau… ah, ada yang sudah menggigit aku! Aku langsung memeriksa lagi dengan seksama. Takut kalau pacet itu masih menempel tubuhku.
“Oh, tidak! Kelana!” rengekku ketika melihat seekor pacet sedang mengebor daging betisku.
Kelana tertawa.
“Please!” aku benar-benar memohon.
Kelana segera turun menghampiri, berjongkok lalu menarik pacet itu dari kakiku.
“Ah, susah.” keluhnya. “Biarkan dia lepas sendiri ya?” Kelana melirik aku sambil senyum-senyum.
“Jangan bercanda Kelana!” runtukku dalam cemas. “Kau mau membunuhku?”
“Satu pacet ini tidak akan membunuhmu.” kata Kelana berusaha mencabut pacet itu. “Kau pengin pipis tidak?”
“Kelana!”
“Air kencing bisa melepas gigitannya dengan mudah. Ya, kena!” serunya. “Belum kenyang dia, eiit…” pacet itu lengket di tangannya seolah ingin menyedot darah Kelana.
“Gigit saja dia!” seruku ke arah pacet itu.
“Apa?” Kelana mendekatkan pacet itu padaku.
“Ah, jangan!” aku bergerak menghindar.
“Dia tidak dengar kata-katamu.” Kelana mencoba mengejarku.
“Buang!” teriakku.
“Aduh, mau ambil darahku?” katanya pada pacet itu.
Aku tertawa puas. Kelana melihatku dengan takjub.
“Apa yang kau lihat?” hardikku merasa risih dilihat Kelana sedemikian rupa.
“Kau tertawa lagi?” ucapnya tersenyum girang. “Hei, eh, kau menyedot darahku juga?” pacet itu sudah menyusup masuk ke dalam kulit tangan Kelana. Dia kini tengah berjuang dengan pacet itu. “Kau jalanlah duluan!”
“Ada apa?”
“Aku ingin pipis.”
Sontak mukaku menjadi merah. Tanpa menunggu perintah Kelana dua kali aku langsung buru-buru kabur dari hadapan Kelana. Dasar gila!
Aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. Masih menyusuri sungai, berjalan di tepian sungai. Jika tidak ada trotoar sungai aku berjalan di dalam aliran airnya. Terasa dingin, menyentuh kulit kaki.
Kecipak-kecipuk…
Alunan nada yang tersaji mengiringi langkah kaki saat bersentuhan dengan air. Memberi nuansa riuh seirama dengusan nafasku yang kadang terdengar memburu.
Kecipak-kecipuk…
Aku sangat menikmati saat kaki bercengkerama dengan air. Aku menjadi teringat masa kecil saat hujan bermain dalam air selokan lalu menghentak-hentakkan kaki hingga berbunyi kecopak-kecopak ramai, seiring tik tik hujan yang merinai.
“Kau seperti anak kecil!” tegur Kelana membuatku terkejut.
Aku menoleh, benar dia. Dengan cepat dia sudah mengejar jejakku.
“Naiklah, jangan terus berada dalam air. Kakimu bisa kedinginan. Lintah juga dengan mudah akan menyergapmu.”