Sinar mentari sore itu merarak terik. Cahayanya mengantarkan kaki mungilku pada pintu yang terbuka sedikit. Tumben sekali pintu di pojokan lorong itu terbuka. Rasa penasaran yang tak terbendung membawa tanganku membuka pintu semakin lebar.
“Kak Iqbal,” mataku terpaku pada punggung tegap seorang lelaki. Lelaki yang kupanggil Kak Iqbal berbalik menatap kearahku, tangannya berhenti menyusun kursi.
“Butuh bantuan?” tawarku.
“Asa, kamu ngapain berdiri disana, kok belum pulang?” Kak Iqbal melihatku masih berdiri di pintu.
“Hehe, baru siap bimbel Kak.” Aku tak bisa menahan kakiku untuk tak masuk ke dalam ruang serba guna ini. “Ada yang bisa dibantu Kak?”
Kak Iqbal tertawa, mata bulatnya menyipit. Ia menatapku yang masih memakai seragam putih abu-abu. Aku jadi ikut menatap padanya, sore itu Kak Iqbal mengenakan kaus hitam dengan celana panjang abu-abu. Kakinya yang kurus memakai kaus kaki putih setinggi mata kaki dengan sepatu hitamnya tak lagi hitam sempurna.
“Maksud Asa mau bantuin ngangkat kursi-kursi ini?” Kak Iqbal bangkit berdiri sambil menunjuk pada deretan kursi yang tak rapi.
“Ehm, bukan Kak.” Tentu saja aku menggeleng cepat diikuti tangan yang otomatis menjulur kedepan, bagaimana bisa tubuh mungil ini menahan beban berat tumpukan kursi.
“Haha, takut banget di suruh bantuin ngangkat kursi.” Kak Iqbal tertawa lagi. Aku jadinya ikut tertawa, habis tawanya manis sekali.
“Asa pulang aja deh, nanti dicariin sama orang rumah, nih Kakak yang beresin aja,” putus Kak Iqbal.
“Gak papa, Kak. Asa bantu sedikit.”
Bukan Asa namanya kalau tak memberikan kontribusi apapun. Dengan gesit aku meletakkan buku yang sedari tadi kudekap di atas meja, bersebelahan dengan tas Kak Iqbal. Aku menggulung rambut sebahuku keatas, mencepolnya asal menggunakan karet gelang hitam yang tadinya kujadikan gelang dipergelangan kiri.
Kain-kain yang teronggok di lantai, kupungut, kumasukkan kedalam kardus. Kak Iqbal membuka mulutnya lebar dan menggeleng pelan ketika melihatku.
“Dasar si keras kepala Asa, udah Kakak bisa sendiri.”
Kak Iqbal meraih kain lainnya dan membantuku memasukkannya ke dalam kardus, ia meninggalkan tumpukan kursi yang belum tersusun rapi.
“Kok sendiri Kak, anggota OSIS yang lain mana?” tanyaku mengelap keringat yang menetes.
Yah, ruang serba guna ini memang minim udara. Lihat saja, jendelanya tinggi sekali hampir menyentuh ubin. Ups, tidak, itu hanya lubang udara yang dibuat dari jejeran batako.
“Udah pada pulang.”