“Asa darimana aja kamu?”
“Ehm, Pa. Asa dari sekolah …”
Semoga, Kak Iqbal udah pergi. Kalau tidak bisa-bisa masalah tambah runyam.
“Masuk.”
Suara tegas Papa menusuk, sudah kuduga apa yang akan terjadi setelah ini. Interogasi panjang macam antrian beli boba keluaran terbaru, beli satu gratis satu.
“Pagi tadi, kamu bilang sama Papa cuman bimbel, itupun sampai jam 5. Sekarang udah jam berapa Asa?”
“Jam 6, Pa.”
“Jam 6 lewat 45, Sa.”
Aku tentu saja menunduk, tak berani menatap wajah Papa yang mungkin sudah memerah. Tak ada yang bisa kulakukan jika sudah seperti ini, selain berdiri diam dan mendengarkan setiap wejangan dari Papa.
“Kamu itu anak gadis, Sa. Papa udah bilang kan, jangan sembarangan kemana-mana, jangan malam pulang, jangan sembarangan berteman.”
Semua larangan Papa yah begitulah. Mataku menatap pada kaos kaki putih yang masih melekat dikaki mungilku. Kugerak-gerakkan jemari kakiku untuk mengusir rasa bosan.
“Asa, kamu abis ikut OSIS lagi?”
Kali ini, tebakan Papa tepat sekali. Semudah itukah tertebak? Padahal aku hanya diam.
“Baju kamu kotor sekali. Pagi tadi, gak selusuh itu.”
Aku cukup kagum sama kejelian Papa, sulit sekali menyembunyikan sesuatu dari Papa. Aku sudah seperti pasien yang tiap hari datang ke praktek Papa. Tanpa dimutilasi sudah tahu mengidap apa. Bedanya kalau pasien Papa itu pasti punya penyakit, kalau enggak sakit gigi yah mau pasang behel. Kalau aku sudah pasti penyakitnya cuma satu, keras kepala akut.
“Asa, kamu makin dilarang makin dilakuin yah. Papa udah bilang kan, fokus aja sama bimbel Akuntansi kamu, nilai-nilai kamu diperhatiin. Gimana kamu bisa masuk STAN, kalau nilai kamu makin turun. Sudah cukup pengalaman kamu, setahun kemarin jadi OSIS. Sekarang waktunya kamu tingkatkan nilai-nilai kamu.”
Seharusnya profesi Papa jadi tukang ramal deh bukan tukang gigi. Soalnya Papa bisa ramal, nanti sehabis SMA aku masuk STAN, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Padahal aku gak tahu mau jadi apa nanti. Masa iyah, lulus dari sana nanti aku bisa jadi Menteri Keuangan layaknya Ibu Sri Mulyani.