Tentang Cika

Diah Puspita Sari
Chapter #1

Permulaan

Senin merupakan hari yang banyak dikeluhkan oleh sebagian orang yang kerap kali memiliki aktifitas padat. Salah satunya Cika, seorang pelajar kelas tiga SMA yang sangat membenci Senin. Apalagi pagi ini hujan, Cika semakin ingin bermalas-malasan di kasur untuk terus melanjutkan rutinitasnya yaitu menonton drama korea yang menjadi favoritnya sejak ia masih SMP.

Tetapi, sebesar apapun rasa malas yang menghantui diri Cika, ia akan tetap memaksakan untuk bisa hadir di sekolah. Tentu saja ini karena Widya Permata, mama Cika yang sangat cerewet jika sudah menyangkut pendidikan dan masa depan Cika Anindya Halim. Sebagai anak pertama dan sekolahnya masih dibiayai, pastilah ia menuruti apa kata kedua orang tuanya, terutama ucapan Widya. Walaupun sebenarnya Cika terkadang muak dengan pilihan ataupun aturan Widya.

“Masih hujan Cik, sekalian berangkat sama Papa aja ya naik mobil ke sekolahnya?” tawar Widya sambil mengoleskan selai pada setiap lembar roti untuk bekal Cika dan adiknya.

Cika duduk sambil menggantungkan tasnya di kursi, “Enggak usah Ma, Cika bareng Tio aja nanti. Lagian hujannya udah hampir reda kok. Kalau bareng Papa takutnya kena macet di jalan, yang ada aku malah telat masuk kelas.” Cika menuangkan beberapa sendok nasi goreng pada piringnya. Setelah itu ia juga mengambilkan piring untuk adiknya yang ada di sebelahnya. “Tuh mending si Shita berangkatnya bareng Papa. Kasian dia ke sekolah bawa motor mulu, lama-lama masuk angin, ya enggak Ta?”

“Iya Ma, sesekali Shita kek yang ditawari. Ini mah Kak Cika terus,” Shita mengerucutkan bibirnya. Sebagai anak bungsu, rasa iri pada kakaknya adalah hal yang lumrah. Dan Shita tengah merasakannya.

Widya tersenyum sambil menutup kotak makan anak-anaknya, lalu ia mendekati Shita, merangkulnya dari belakang, “Kamu dulu dari awal udah pernah diajak berangkat bareng Papa, tapi kamu tolak. Katanya takut mual terus muntah waktu perjalanan ke sekolahnya. Lupa?” jari Widya mengusap lembut dahi anak bungsunya.

“Ah, iya sih. Tapi kan seenggaknya aku diajak juga. Lah ini malah dicuekin sampai akhirnya aku udah kelas tiga SMP,” sambil mengunyah makanannya, Shita terus memberikan komplain untuk Widya. Dari ujung meja, terlihat papa Cika yaitu Adendra Halim hanya tertawa melihat raut wajah Shita yang sedang ingin diperhatikan juga.

Cika mengembuskan napasnya, kadang ia merasa tidak enak jika selalu dinomorsatukan oleh Widya. Tapi mau bagaimana lagi, Widya sulit untuk dibantah, mana mau mendengar isi hati Cika. Dibalik perlakuannya yang lembut, Widya memiliki sifat keras kepala. Ia hanya bisa dilunakkan oleh perlakuan atau kata-kata dari suaminya, Adendra Halim.

“Dengerin Ma, si Shita juga pengin disayang tuh,” sindir Cika sambil melahap satu suap nasi goreng buatan Widya. Lalu Cika mengecek ponselnya, berharap ada satu pesan yang memberikan kepastian kalau orang yang tengah ditunggu Cika sudah bersiap atau bahkan sudah berangkat menuju rumah Cika, “Ck. Belum dibales juga chat gue? Apa masih tidur kali ya itu orang? Ditelpon dari tadi juga enggak diangkat.” Cika berdecak, sebal karena Tio mengabaikan pesan dan juga telponnya sedari tadi.

Decakan mulut Cika terdengar oleh Shita, seperti sengaja menyiram minyak di atas kompor, Shita memberikan pertanyaan pada Cika, “By the way Kak Cika… gue penasaran. There’s something between you and Kak Tio? Kalian kok makin deket juga gue liat-liat. Ya enggak Ma?”

“Nah ini yang Mama ingin tanyakan dari waktu itu. Are you in relationship with him? Does he your boyfriend? Hm?” nada Widya terdengar agak ketus.

Cika menaikkan alis kanannya. Ia kaget disambar pertanyaan aneh dari dua orang perempuan yang ada didekatnya itu. “Nope. We’re just friend. Kan Mama sendiri yang bilang aku belum boleh pacaran sampai aku kuliah nanti? Aku udah mencoba buat menjaga kepercayaan Mama nih. Jangan sampai curiga yang enggak-enggak deh.”

“Cika sayang, Mama kayak gini bukan karena Mama jahat ya. Mama cuma enggak mau kalau fokus kamu terbagi dua. Antara cinta dan sekolah. Ini juga berlaku buat kamu loh Shita!”

Cika dan Shita saling beradu pandang. Kedua bahunya kompak mereka angkat karena bingung harus menanggapi mamanya seperti apa. Mereka pun memindahkan kotak makannya ke dalam tas, sekaligus menghindari kontak mata dengan Widya.

Adendra sedari tadi diam, kini mulai angkat bicara. Telinganya pengang mendengar istrinya terus menceramahi kedua anaknya yang sampai saat ini belum berbuat kesalahan di mata Adendra,“Ma, jangan terlalu keras gitu ah sama anak-anak kita.”

“Aduh Pa, anak-anak tuh sekali dibebaskan akan jadi liar. Udah deh Pa, ini cara mama mendidik mereka biar berhasil. Terutama Cika, anak pertama kudu jadi contoh buat adiknya. Toh mereka juga enggak membantah. Sebegitu menurutya mereka jadi seorang anak, lah ini Papanya mengajarkan yang enggak bener,” Ini yang membuat papa sering membungkam wejangan yang ingin ia berikan pada istri dan kedua anaknya. Widya selalu merasa benar. Apalagi perkara anak-anak, semuanya harus diatur oleh Widya, tidak ada yang boleh luput dari pantauannya.

Udara pagi itu harusnya dingin, namun berangsur menjadi memanas karena celotehan yang keluar dari mulut Widya. “Lo sih Shita, nanya hal begituan segala biar apa?”

“Kak Cika, gue tuh kepo.”

“Kepo lo salah tempat ah. Harusnya kalau lagi berdua bahas yang beginian, lo sengaja kan biar gue dimarahi Mama? Eh malah lo sendiri kena juga. Hahaha makan tuh!”

“Ih sejak kapan Kakak bisa baca pikiran gue hah?”

Posisi mereka saat ini sudah jauh dari meja makan yang masih diduduki oleh Widya dan Adendra. Tetapi obrolan Cika dan Shita terdengar berbisik, takut terdengar oleh Widya.

“Ngaco ih lo. Enggak perlu dibaca pikiran lo mah udah ketebak. Jahat banget sih jadi adik, bukannya support kakaknya, eh malah memojokkan kakaknya terus. Nih ya, kalau gue sukses lo juga loh yang kecipratan.”

“Yakin emang bakal jadi orang sukses Kak?”

Pertanyaan Shita terkesan meremehkan Cika. Yang diberi pertanyaan pun bergeming. Hendak menjawab iya dengan yakin, namun ia takut kenyataannya malah berbanding terbalik dengan ekspetasinya. Cika takut dengan masa depannya, Cika mencemaskan jika kesuksesan enggan menyapa dirinya apabila ia sudah dewasa baik secara pikiran, fisik, ataupun usia. Cika khawatir kalau ia hanya menjadi beban bagi kedua orang tuanya.

Tentang dunia yang semakin jahat, juga kehidupan yang semakin gila. Dan Cika dengan segala kegelisahannya. Akankah ia mampu untuk menggapai kesuksesan pun dengan kebahagiannya?

“Enggak bisa jawab Kak? Payah nih, meragukan diri sendiri. Hahaha,” sindiran Shita berhasil mempermainkan mental kakaknya di pagi hari ini.

“Gue enggak pernah tahu bagaimana semesta bekerja. Akankah semesta berpihak pada gue, dan mengaminkan seluruh permintaan gue lalu menyampaikan pada Tuhan kalau gue pantas untuk mendapatkan semua kesenangan dunia. Lantas kalau begitu, dengan segala kebesaran-Nya Tuhan akan mengijabah semua doa yang gue panjatkan. Itu pun kalau menurut Tuhan baik. Kalaupun menurut Tuhan enggak baik, titik sukses gue bukan atas dasar permintaan yang gue rapalkan lewat doa. Tapi karena semua upaya gue dan juga apa yang gue butuhkan di dunia,” Cika mengakhiri kalimat terakhirnya dengan senyuman yang ia lontarkan untuk adiknya. Ketika rasa pesimis hadir dalam benak Cika, ia mencoba menyingkirkan rasa tidak percaya dirinya dengan mengingat kuasa Tuhan. Karena Cika paham betul, apapun yang terjadi dalam kehidupannya atas kehendak Tuhan.

Sebetulnya Shita kaget mendapat jawaban dari kakaknya yang bijak. Hanya saja ia enggan mengakui kalau apa yang dikatakan oleh kakaknya itu ada benarnya juga. “Gitu ya Kak? Udah kayak ustadzah nih sekarang ya.” Shita mencibir Cika.

“Hih berisik ya lo!” Cika mencubit hidung adiknya sampai merah.

“Kak Cika ih sakit nanti hidung gue kayak jambu merah, sampai di sekolah temen-temen pada ngetawain gue Kak ih, lepas!” tangan Shita memukul tangan Cika yang hinggap di hidung mungilnya Shita. Tapi tetap jari-jarinya Cika yang menjepit hidungnya Shita sulit untuk dilepaskan. Ini membuat Shita berteriak dengan suara nyaringnya, sehingga terdengar oleh Widya dan Adendra.

“Aduh ini Tom dan Jerry. Cika, udah gede masih jahil sama adiknya ya, lepas enggak?” Widya menghampiri kakak adik itu sambil berkacak pinggang.

Lihat selengkapnya