“Gue salah. Gue akui kalau Pak Rafa bukan mahasiswa abal-abal,” Cika berbisik pada teman-temannya yang sedang menghadap bangku Cika.
“Ya kan? Enggak cuma modal tampang doang tapi memang punya skill. Ngitungnya cepet, pengetahuannya luas. Apalagi tentang akuntansinya, wih jago banget!”
“Nanti kalau gue kuliah, mau ambil jurusan akuntansi ah. Biar bisa nanya-nanya ke dia hahaha.”
Laras dan Ratna bergantian memuji lelaki berbadan jangkung yang mengenakan almamater berwarna cokelat susu.
“Kalian tuh, berlebihan tau,” Cika tidak peduli dengan keberadaan orang baru yang mampu mengambil atensi seisi kelas. Baginya, mau belajar dengan Bu Tuti atau Pak Rafa, akuntansi tetaplah mata pelajaran rumit yang butuh ketelitian dan konsenterasi tinggi.
Rafa sedang menyandarkan dirinya di kursi, netra dan gendang telinganya menganalisis keadaan kelas yang tidak kondusif, beberapa detik kemudian ia mengetuk meja untuk kembali mengambil perhatian anak-anak. “Saya menyuruh kalian mengerjakan soal menggunakan otak dan juga tangan, bukan pakai mulut. Jadi seharusnya tidak seberisik ini. Atau kalian sudah selesai?” ia bertanya pada anak-anak, namun tak ada satupun jawaban yang terucap dari mulut mereka. “Kalau sudah saya mau panggil nama kalian random ya, buat menjawab soalnya di depan. Anggap saja sekalian perkenalan lebih dalam untuk selangkah lebih dekat dengan saya.” Pada akhirnya Rafa menjawab sendiri pertanyaannya.
Ia kembali duduk di kursi, lalu membuka buku absensi. Bola matanya bergerak naik turun, membaca nama demi nama yang tertulis di lembaran kertas tipis tersebut. “Sekarang tanggal berapa?” netranya kini beralih menatap beberapa pasang mata di depannya.
“Tanggal tiga Mei, Pak.” jawab Ghasani, perempuan yang posisi bangkunya di tengah kelas.
"Kalau begitu saya minta absen nomor tiga dan lima untuk mengerjakan soal satu dan dua.”
Semuanya kaget. Baru kali ini anak-anak IPS 2 dipanggil untuk mengerjakan soal dengan metode yang Rafa gunakan. Diantara mereka pun tidak ada yang berdiri, entah mendadak lupa atau memang sengaja tidak ingat dengan nomor absensinya masing-masing.
“Loh, mana absen nomor tiga dan lima? Saya panggil namanya deh,” jari telunjuk Rafa terlihat bergerak dari atas menuju ke bawah. Ketika menemukan sasarannya, ia mengangguk-anggukan kepalanya lalu menyebutkan nama-nama yang diincarnya, “Absen ketiga Bima, dan absen kelima Cika.”
Bima sedang kelabakan karena namanya dipanggil. Sedangkan Cika tengah mempersiapkan kalkulatornya, walaupun tampak santai sebenarnya jantung Cika hampir dibuat copot. Air wajahnya yang tenang tidak menggambarkan kondisi hatinya yang saat ini sedang was-was.
“Kenapa harus gue sih, ampun Ya Tuhan,” batinnya mengeluh. Ia melihat sekeliling kelas. Semua tampak menunduk, pun dengan jam yang menggantung di dinding detiknya seolah berhenti. Satu suara pun tidak terdengar di gendang telinga Cika. Hanya deru napas dan detak jantung dirinya saja yang memenuhi pendengarannya. Sebegitu paniknya Cika karena namanya mendadak dipanggil untuk mengerjakan soal di depan kelas.
“Cik, bukannya lo udah?” Ratna mencodongkan tubuhnya ke belakang pada Cika, kemudian ia berbisik pelan.
“Udah, t-tapi… gue takut otak gue tiba-tiba blank, cara mengajarnya killer gini, gimana gue bisa fokus?” Cika masih belum berdiri, pantatnya lebih memilih untuk terus diam duduk di kursi daripada ia harus melangkah menghampiri Rafa, si guru PPL yang sekarang sedang memasang mimik muka sangar dengan hak paten ketampanan yang dimiliki oleh wajahnya.
Semua nyawa yang berdetak di kelas itu pun tidak menyangka, jika orang yang diawal sesi perkenalan tadi menyunggingkan senyum untuk menebarkan pesonanya, seketika kepribadiannya berubah menjadi seperti monster yang biasa hadir dimimpi buruk anak-anak.
“Guys doakan gue,” Cika melambaikan tangan pada kedua teman dekatnya. Dengan segenap keberanian yang susah payah dikumpulkan, sekarang ia maju menghampiri guru PPL yang ada di depan. Pikiran Cika yang semula meremehkan Rafa sudah mampu ia tepis dengan mengakui kemampuan Rafa. Namun saat itu sel-sel di dalam otaknya langsung mengubah haluannya untuk membenci Rafa. Untuk apa jika seorang guru pandai tetapi disisi lain ia juga menindas muridnya? Ya walaupun niat Rafa baik, tetap saja di mata Cika dan bahkan teman-teman lainnya metode pembelajaran yang diberikan Rafa itu salah. Bukannya membuat para murid menjadi tak gentar, ini malah menjadikan sang murid bagaikan tikus yang kepergok kucing di dalam got.
“Jangan takut, saya enggak gigit,” Rafa berdiri tepat di samping papan tulis. Meperhatikan tiap-tiap pergerakan yang tercipta dari lekuk tubuh Cika. Ia memusatkan perhatiannya penuh pada papan bewarna putih yang sekarang setengahnya sudah terisi dengan angka-angka. “Cika sudah hampir selesai nih, Bima masih mau diam di tempat?” suara Rafa berhasil memecah keheningan kelas. Antusiasme di kelas ini berubah menjadi kegelisahan. Khawatir jika Bima menyerah untuk maju ke depan, maka siswa lain yang akan menjadi korban.
“Pak mohon maaf sebelumnya, kalau ke depan kelas untuk menjawab soal kira-kira Pak Rafa akan memberikan poin enggak untuk kita?” bukan ingin menjadi pahlawan, Tio berbicara demikian hanya ingin memastikan apakah hasil buah pikir dari tiap-tiap siswa yang maju ke depan akan mendapatkan imbalan yang setimpal? Dia tidak akan maju ke depan tanpa disuruh kok, karena Tio bukanlah seorang attention seeker. “Kalau dapat poin enak kan Pak, kita jadi semangat buat mengerjakan soal. Tanpa keraguan juga tentunya.”
Sejak Bu Tuti membawanya ke kelas ini, Rafa sudah berpikiran bahwa Tio adalah lelaki yang haus akan perhatian dan membutuhkan validasi dari orang-orang sekitarnya. Padahal tidak demikian, Tio hanya mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya sebagai seorang siswa. Ia hanya tidak ingin dibelenggu oleh rasa takut.
“Kamu mau maju ke depan? Menggantikan Bima? Dan berdiri di samping Cika” tanya Rafa dengan dengan ekspresi wajah yang dingin. “Tapi maaf nih, saya tidak berniat untuk memberikan poin untuk kalian. Dipertemuan selanjutnya saja ya? Lagi pula ini kan pertemuan awal. Saya masih ingin menilai bagaimana perilaku kalian lebih jauh lagi.”
Jeda sejenak, Tio tidak langsung menimpali perkataan lelaki yang baru dikenalnya. Ia memandangi Rafa dari kejauhan karena Tio duduk di belakang. Tio menganalisis setiap perilaku dan perkataan yang dilakukan oleh Rafa sejak tadi pagi. Entah mencoba profesional, atau sedang mencari muka dengan berlagak tegas keduanya bukanlah sikap yang diidamkan oleh para murid milenial saat ini, pikir Tio begitu.
“Enggak deh Pak, saya sama takutnya dengan Bima. Sama tegangnya dengan temen-temen lain.” Tio langsung mengalihkan pandangannya pada pintu kelas yang terbuka lebar. Ia enggan untuk berlama-lama saling menatap dengan lelaki yang seharusnya ia hormati saat ini.
“Kalau saya tidak salah dengar tadi dari Bu Tuti, nama kamu Tio kan? Keren sih, masih SMA udah jago ngomong kayak gini. Lain kali kita ngopi bareng ya, sekalian bertukar pikiran. Siapa tahu kita cocok.”
Tio terbelalak mendengar akhir kalimat yang diucapkan oleh Rafa, batinnya berbisik, “Oh jadi Pak Rafa penyuka sesama jenis?” tenggorokannya refleks menelan ludah karena ia begitu terkejut.
“No, bukan karena saya suka dengan kamu. Saya hanya tertarik dengan cara berpikir kamu.” Rafa segera mengklarifikasi perkataannya tadi. “My sexual oriented is straight. I’m normal.” sorot matanya segera beralih pada seorang gadis yang sedari tadi sibuk menekan angka pada tiap-tiap tombol di kalkulatornya.
Semua kaum adam di kelas itu segera mengelus dada dan menghirup napasnya lega. Mereka takut kalau Rafa jatuh hati pada salah satu laki-laki di kelas IPS 2. Termasuk Tio, menarik napasnya sambil memejamkan kedua matanya sebentar. “Selamet, selamet,” dalam hati ia mengucap syukur.
“Pak, sudah selesai,” Cika sedikit terkesiap ketika mendapati dirinya sedang diperhatikan oleh lelaki yang baru dikenalnya sekitar satu jam lalu. Debaran yang semula ia bisa kendalikan, sekarang kembali mengusik dirinya. “Eh apa sih, Pak Rafa cuma lagi mengoreksi jawaban gue, kok sampai deg-degan selebay ini,” jemari di tangan kanannya iya rapatkan lalu serentak ia menepuk kepalanya sendiri agar Cika bisa kembali mengontrol dirinya.
“Cik, pusing ya? Kepala sendiri sampe dipukul,” celetuk salah satu murid yang sedang duduk di pojokan.
“Eh Cika sampai sepusing itu?” tanya Rafa setelah mengecek jawaban Cika secara menyeluruh.
“Hehehe enggak Pak,” Cika langsung menurunkan tangan kanannya.
“Okay, kalau enggak pusing kerjakan soal kedua untuk menggatikan Bima ya?”
“Yah Pak, nanti kepala saya beneran jadi pusing gimana?” Cika mengeluh, wajahnya memelas agar mendapat belas kasihan dari lelaki yang umurnya berbeda empat tahun darinya.
Rafa terkekeh, “Hehehe, yang namanya pelajar, wajar kalau pusing. Itu namanya proses berpikir,” Rafa meraih spidol hitam yang sudah diletakkan di meja, kemudian ia menuliskan tanda ceklis yang lumayan besar di samping hasil akhir perhitungan Cika. “Pokoknya saya enggak akan membiarkan kamu untuk kembali duduk ke bangku kamu…”
Kalimat Rafa terpotong karena Cika buru-buru mengambil alih spidol yang ada di tangan Rafa, suara decitan pada papan tulis pun terdengar lagi. Sambil membaca soal yang ditampilkan pada slideshow power point, Cika sedikit melirik pada Rafa, “Iya Pak, saya kerjakan.” Ucapnya sambil sedikit memaksakan senyum.
“Sip, good job! Setelah Cika selesai, nanti saya akan jelaskan pada kalian.” Rafa menepuk tangannya satu kali, dari gestur tubuhnya dapat terlihat bahwa ia begitu puas atas perlakuannya. “Lumayan, hiburan.” Ia bergumam pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Rafa sangat menikmati hari pertamanya sebagai guru PPL di sekolah ini.
Sedangkan Cika, dalam hatinya berkali-kali mengutuk Senin yang amat menyebalkan bagi dirinya. Sesekali ia mendelik pada lelaki yang sedang bersantai menunggu Cika di meja guru, “Ganteng, tapi suka menindas. Cepet musnah dari sekolah ini gih!”
***
Siang itu matahari tidak sepenuhnya menyinari bumi. Rasanya sudah seperti sore hari, namun jam yang terpasang di dinding kelas menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Bel yang berbunyi pun menegaskan sudah saatnya semua murid mengakhiri kegiatan belajarnya hari ini.
Cika tengah membereskan alat tulisnya, ia memasukkan buku beserta kotak pensil ke dalam tasnya satu persatu. “Eh ini kotak-kotak apaan ya?” Cika tersadar, ada suatu benda yang turut meramaikan isi tasnya. “Roti isi? Duh sampai lupa Mama tadi menyiapkan bekal untuk gue.”