Tentang Cika

Diah Puspita Sari
Chapter #3

Potongan Ingatan

Jam menujukkan pukul 06:00 pagi, Cika menenteng tas dari kamarnya sampai ke meja makan. Lengkap dengan seragam yang rapi, dan rambut yang sudah ia hias dengan pita berwarna biru terang melingkar di kepalanya. Hari ini Cika terlihat lebih cantik dari biasanya.

Bibirnya ia pulas menggunakan lipbalm berwarna cherry pink, pipinya juga tampak merona karena sedikit olesan cream blush yang menyentuh wajahnya. Ia menyapukan makeup pada wajahnya dengan look natural.

Atensi Adendra yang semula sedang menghirup kopi, kini teralihkan karena melihat anak gadisnya yang menyempatkan waktu untuk bersolek sebentar di hadapan cermin, “Anak Papa makin gede makin cantik.”

Pujian dari mulut Adendra berhasil membuat seluruh wajah Cika berubah menjadi merah padam. Malu yang dirasanya melibatkan rasa syukur yang diam-diam ia ucapkan dalam hatinya. “Hehe iya Pa. Cika enggak mau keliatan kucel,” ia menyisir rambut yang terurai di bagian pundak dengan tiga jari kirinya.

“Loh Pa, kok masih pake koloran sama baju tidur gitu sih? Hari ini Papa enggak kerja?” andai Cika, tidak menolehkan kepalanya pada tempat duduk yang biasa Adendra tempati, pasti Cika tidak menerka-nerka apa yang membuat papanya masih bersantai di meja makan dengan tablet di tangan kirinya dan secangkir kopi yang ada di hadapannya.

“Loh Cik, tanggal merah kok pake seragam? Hari libur gini tetap sekolah? Enggak bersantai?” Adendra mengulang pertanyaan Cika, beberapa kata-kata telah ia ganti, menyesuaikan dengan keadaan Cika sekarang.

“Hah tanggal merah apanya?” Cika buru-buru melihat kalender yang ada di ponselnya.

Shita yang entah sejak kapan sudah ada di meja makan turut mengolok Cika saat itu, “Maklumin Pa, di kamar Kak Cika kalendernya warna item semua tanggalnya. Enggak ada warna merahnya,” Shita pun mengamati penampilan Cika hari ini. “Cakep bener, lo yakin mau ke sekolah kan Kak? Tumbenan fresh bener dah.”

Cika ia meletakkan ponselnya di meja. Pantas saja tidak ada pesan apapun dari Tio pagi ini, dan Cika berasumsi kalau Tio masih tidur. Dan melihat Adendra serta Shita masih menggunakan pakaian tidur, membuat Cika sedikit agak terganggu. Ia ingin segera menghapus riasan pada wajahnya dan segera mengganti bajunya. Sebelum Widya datang tentunya, karena jika Widya lihat, pasti pertanyaan yang dilontarkan akan melebihi pertanyaan Shita.

“Diem ya lo, awas kalau bilang sama Mama!” ancam Cika. Jari telunjuk kanannya ia angkat sambil dinaik-turunkan.

“Tergantung sikon deh, kalau bibir gue lagi pengin olahraga, ya maaf dengan sangat terpaksa gue akan julid tentang lo di depan Mama. Eh Mama mana ya Pa? Gatel nih bibir enggak mau diem.”

Senyuman sedikit menyembul di pipinya, dengan sigap Adendra menjawab, “Tuh di taman, lagi nyiramin tanaman katanya.”

Tanpa pertimbangan apapun lagi, Cika langsung pergi meninggalkan adik dan juga papanya. Tasnya ia jinjing, langkah kakinya dipercepat. Takut-takut bila Widya memergoki Cika yang masih menggunakan seragam dan makeup, saat ia berjalan untuk pergi ke kamar.

Cika segera mengunci pintu kamarnya. Tidak langsung mengganti bajunya melainkan ia mematut dirinya pada cermin terlebih dahulu. “Ngapain juga sih gue sok ngide pake makeup, eh gataunya malah libur. Sayang juga kan makeupnya jadi kebuang sia-sia.” Ia mengelus wajahnya dengan lembut, ia mendadak menjadi lesu.

Sebenarnya Cika juga tidak mengerti, alasan mendasar apa yang membuat dirinya ingin tampil agak berbeda dibandingkan hari sebelumnya. Apa karena ia terlalu sering menonton beauty vlogger yang membuat tutorial makeup natural untuk ke sekolah. Dan mungkin disertai alasan mendukung lainnya, untuk tampil lebih menawan di depan Tio, misalnya.

   Dari jendelanya yang telah ia buka, Cika melihat apa-apa saja yang tertangkap oleh kedua matanya. Pagi itu begitu hangat, mentari membulat sempurna di ufuk timur. Cika merasakan sepoian angin perlahan bertiup ke arahnya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan momen sederhana seperti ini. “Yaudah sih libur juga enggak apa-apa, enak malah. itung-itung me time,” ucapnya dalam hati.

Tiba-tiba dering ponsel berbunyi, Cika membuka ponselnya. Di layarnya terdapat nomor dan juga nama Deantio sedang memanggilnya. “Jangan-jangan dia juga berpikir kalau hari ini sekolah?” sebelum mengangkat telfonnya, Cika membenarkan pita suaranya terlebih dahulu. Setelah ia mantap dengan suaranya, ia pun menekan tombol hijau.

“Selamat pagi, dengan siapa? Di mana? Passwordnya?” Cika disambut dengan tiga pertanyaan tidak penting.

“Dengan Cika, di London. Passwordnya hm… Deantio ganteng tapi boong?” Cika membalas gurauannya Tio.

“Maaf, nomor yang anda tuju sedang tersinggung karena perkataan anda. Silahkan hubungi beberapa saat lagi.”

“Gue matiin aja nih Yo telfonnya, serius?” Cika mengancamnya, intonasinya sedikit ia naikkan agar benar-benar terdengar kesal di telinga Tio.

“Idih, gue yang dijelekkin kok lo yang ngambek sih?!” Tio tidak mau kalah dengan Cika kalau ia juga sedang berpura-pura kesal.

“Ngapain lo telfon-telfon gue lagi libur begini?”

“Gue cuma mau memastikan sih kalau pagi ini lo masih pake piyama, bukan seragam putih abu lengkap dengan atribut lainnya.”

Kening Cika berkerut kemudian ia terkekeh karena jawaban aneh yang berasal dari ujung telfon tersebut. “Yo, sumpah ya gue malu sama papa dan Shita. Apa yang lo katakan tuh bener, gue nyelonong ke meja makan dengan keadaan udah cantik, rapi, wangi. Pokoknya niat banget deh ke sekolah. Eh, gataunya papa masih koloran. Dan Shita juga di pipinya masih ileran. Lo sih, enggak ngingetin gue. Malah keenakan ngorok, ya kan?”

“Heh Cik, seambis-ambisnya gue, masih tau cara untuk bermalas-malasan. Enggak kayak lo, terlalu rajin sampe hari libur aja enggak inget.”

Cika kemudian berjalan ke meja riasnya sambil mengambil beberapa helai kapas dan botol bening bertuliskan micellar water, Cika akan membersihkan wajahnya saat itu juga. Ponselnya ia selipkan antara pundak dan kepala sebelah kirinya agar ia tetap bisa terhubung Tio.

Then, can you teach me how to be a lazy girl?” tanya Cika sambil mengusap-usap wajahnya menggunakan kapas yang sudah basah tadi.

“Yakin Cik? Nanti kalau lo udah tau nikmatnya kemalasan, lo bakal bego beneran.” goda Tio saat itu sambil cengengesan.

“Enak aja!” Cika seakan melampiaskan rasa sebalnya pada kapas yang ia lemparkan ke tempat sampah, “Kalau gue mendadak bego, gue enggak bisa ngewakilin sekolah buat maju ke olimpiade matematika tingkat nasional dong Yo.”

“Kan udah kelas 12 Cik, emang masih bisa ikut ya? Bukannya kita disuruh fokus sama ujian aja?”

Lihat selengkapnya