Tentang Hujan

Lila arini
Chapter #3

Victoria Peak

"Kamu!" Perempuan itu menutup mulutnya sendiri agar tak memekik terkejut. Ia membelalak, seperti melihat hantu. Ada kepanikan yang tak dapat disembunyikan oleh matanya. Tangan kanan perempuan itu menunjuk ke arah Andy yang tersenyum semakin lebar. Mereka saling mengenali satu sama lain. Dia memang Arin!

"An--dy?" Agak ragu Arin menyebut nama Andy. Lelaki itu sendiri sudah tertawa lepas. Lega dengan hasil perburuannya. 

"Masih ingat aku?" Andy menyapa Arin yang masih nampak terkejut. Arin mengangguk. Mereka duduk miring berhadapan agar bisa saling melihat satu sama lain. Dengan agak kikuk perempuan itu menyambut uluran tangan Andy yang mengajaknya berjabatan. "Lei hao?" Andy menanyakan kabarnya dalam bahasa Kanton. 

Arin mengangguk, "baik, kamu?" 

Andy tertawa lagi, seraya mengacungkan jari telunjuk dan kelingkingnya sebelum kembali menjawab. "Still kickin!" Dengan nada tak sabar, Andy kembali bertanya, "what are you doing here?

Arin menjawab pelan, tak pasti akan maksud pertanyaan Andy. "Weekend..." jawabnya.

"No! Di sini maksudku--Hongkong?" sahut Andy, memberi penegasan atas pertanyaannya.

Arin tertawa kecil sambil angkat bahu, " lost--i guess." sahutnya. 

"Haha, glad that you still recognize me!" kata Andy, memperlihatkan seringainya.

"Yeah, thanks God!" sahut Arin seraya memutar bola mata. Ia gugup akan pertemuan tiba-tiba ini, namun berusaha menyamarkannya dengan tawa kecil.

"Nah, kamu mau kemana? Peak?" tanya Andy kembali. Menebak dengan pasti arah tujuan Arin.

Arin menjawab dengan anggukan. "Kamu sendiri mau kemana, Ndy?" tanyanya.

"Aku mengikuti kamu, tadinya mau ke Kowloon." sahut Andy.

Arin terkejut dengan jawaban Andy. "Kamu ngikutin aku? Darimana?" tanyanya dengan nada tak percaya.

"MTR Central tadi, trus sampai kemari." jawab Andy.

"Ya ampun, kenapa nggak manggil aja dari tadi?" Arin menanggapi kalimat Andy.

"I'm not sure it was you. Kamu agak kurusan." jawab Andy, matanya mengawasi sosok Arin.

Arin hanya tersenyum menanggapi pernyataan Andy. Sementara bus bertingkat sudah mulai berjalan menembus kota, menuju Victoria Peak. Arin selalu menyukai pemandangan dari bus bertingkat. Terutama saat melewati jalan-jalan sempit yang ramai di tengah kota. Padat tapi lalu lintasnya teratur rapi. Terutama rute menuju arah Victoria Peak yang berkelok-kelok. 

"Kamu nggak apa-apa nih, kita ke arah Peak, lho!" tanya Arin, melirik sekilas pada Andy.

"Are you kidding me? It's my hometown!" sahut Andy. Lelaki itu tertawa kecil. "So how did you end up here? Vacation? Nope? Ah--for work?" tanyanya kembali dengan penasaran.

Arin kembali tersenyum, tak menjawab pertanyaan Andy. Ia masih takjub akan pertemuan mereka yang tak terduga. "Kamu sendiri?" tanya Arin, mengalihkan. 

Andy mengangkat bahu. "Nature call!" sahut Andy tegas.

Jantung Arin berdetak tak karuan. Diam-diam ia mengawasi cara Andy bicara. Bahasa campuran antara Kanton dan Inggris, nampak dikuasainya dengan baik. Meski masih diselingi dengan logat khas anak muda Indonesia. Tak banyak yang berubah dari Andy. Selain garis wajah yang bertambah dewasa. Pembawaannya selalu bersemangat, penuh percaya diri. Jika ia mengaku Hongkong adalah kampung halamannya, Andy tidak membual. Ia memang memiliki darah Tionghoa-Indonesia dari pihak ibu, dan darah Jepang dari pihak ayahnya.

Hal mengenai gen lelaki ini, sudah menjadi semacam cerita yang beredar luas di sekolah. Terutama dikalangan anak perempuan. Penyebabnya, karena Andy mewarisi wajah unik. Berbeda dengan anak lelaki lainnya. Kulitnya tidak putih pucat, melainkan lebih putih kemerahan khas orang Jepang. Matanya sedikit lebih besar dari orang Tionghoa, dengan pupil coklat muda terang. Nampak kontras dengan alis lebat serta rambut yang hitam pekat. Arin ingat, saat kawan sekelasnya berbicara. Tentang semburat merah di pipi dan telinga Andy. Apa lagi saat Andy terlalu bersemangat atau sedang malu. Semburat merah itu akan makin terlihat. Lebih-lebih ketika ia berbicara dengan lawan jenis. Hal itulah yang jadi bahan obrolan di antara kawan perempuannya. Menebak-nebak penyebabnya, entah malu atau justru karena suka.

"Maaf? Apa tadi?" tanya Arin, meminta Andy mengulangi kalimatnya. Otak dan telinganya tidak sinkron di saat lelaki ini bicara. 

Andy mengulangi kalimatnya. "Tadi aku bilang, kalau aku sekarang tinggal di sini. Menemani Amma menjaga Popo yang sendirian."

Lihat selengkapnya