Tentang Hujan

Lila arini
Chapter #7

Misty Peak

Pukul 11 siang mereka tiba di area kemah, Misty Peak. Area kemah ini terletak tidak jauh dari 'Big Buddha', yaitu patung besar Buddha yang sedang duduk. Ikon wisata terkenal di pulau Lantau.

Meski tidak terlalu tinggi. Kawasan ini sering tertutup kabut. Membuat suasananya terkesan misterius. Apalagi menjelang musim dingin atau memasuki musim gugur. Hingga beberapa minggu kedepan, suhu masih akan mendingin, namun tidak ekstrim. Jika tidak ada pemberitahuan atau larangan dari pemerintah, terkait keadaan cuaca. Kegiatan di luar ruangan tetap berjalan seperti di musim lain. Sehingga banyak yang menggunakan kesempatan long weekend tersebut untuk berkemah. 

Mereka beruntung, dapat menggelar tenda di area yang terlindung dari angin. Ada sekitar enam tenda yang sudah terpasang disana. Dengan sigap Andy mendirikan tenda miliknya. Juga menyeduh kopi, yang airnya berasal dari keran umum. Ada toilet bersih yang bisa digunakan pengunjung. Baik untuk mandi atau mengambil air, tak seberapa jauh dari perkemahan. Jika membuat perbandingan dengan naik gunung di Jogja. Kemping di sini tentu tidak ada tantangannya. Area kemahnya sudah difasilitasi dengan nyaman. Sebagai lokasi berkemah, tempat ini lumayan. Dapat menjadi solusi, sejenak melepaskan penat dari keriuhan kota. Bagi Andy dan Arin, dapat mengobati kerinduan akan suasana dan dinginnya pegunungan.

"Dingin?" tanya Andy. Ia mengamati Arin, yang membungkus rapat tubuhnya dengan selimut wol.

"Sedikit! Lumayan asik juga ya, disini!" sahut Arin. Selimut tipis berbahan wol yang dibawanya, cukup membantu mengatasi hawa dingin pegunungan.

Andy menyodorkan gelas kopi, ke arah Arin. "Hu um. Sudah lama aku tahu tempat ini. Tapi baru ini bisa kemah!" sahut Andy, kembali menghirup kopinya. Untung sore tadi, mereka sempat menyaksikan sunset. Meski pun harus berjalan sedikit jauh, menuju bukit di sebelah kiri perkemahan. 

"Ndy, makasih sudah ngajak aku. Kalau nggak ada kawan mungkin aku belum pernah sampai kesini!" ujar Arin, sambil meniup pelan kopi yang masih mengepul di cangkirnya.

Andy tersenyum dengan kalimat Arin, "aku juga. Makasih, ya. Sulit mencari waktu untuk bisa naik gunung seperti dulu, ya!" katanya. Sesaat, mereka tenggelam dalam kenangan masing-masing.

Dulu Andy, Rana, Maya dan Arin sering kemping kilat. Bersama Akimora dan sahabat kakakaknya, Igo. Minimal sebulan sekali. Sekedar mendirikan tenda di kaki gunung Merapi atau Merbabu. Cukup sebagai pelepasan rindu akan sejuknya hawa pegunungan. Secara samar Andy kembali mengenang. Mereka dulu cukup dekat, meski sebatas naik gunung bersama. Maya jelas perempuan yang mudah didekati saat itu. Tetapi Arin tidak, ia sangat tertutup dan sulit didekati. Ia menjaga jarak dari kawan pria. Tapi tak pernah absen jika ada pendakian bersama. Andy menduga, mungkin karena kehadiran Akimora. 

"Ingat Rana? Rana Wisesa." tanya Andy tiba-tiba.

Arin mengangguk. "Kudengar, ia di Kalimantan." jawab Arin, menanggapi.

Andy ikut mengangguk. "Ya. Kami sempat ngobrol, beberapa hari lalu." katanya. Andy memperhatikan bagaimana Arin bergerak gelisah. "Kamu..." Andy menggantung kalimatnya, "dan Akimora pernah pacaran?"

Deg! Arin sudah menduga, pertanyaan ini akan dilontarkan oleh Andy. Pertanyaan itu membuat jantungnya berdetak lebih keras.

Dengan cermat Andy mengamati bahasa tubuh Arin, yang nampak tidak nyaman. Ada jeda yang panjang, sebelum Arin menggeleng perlahan. "Tidak?" tanya Andy, mendesaknya, "atau belum?" 

Arin memejamkan matanya beberapa detik. Kata-kata 'tidak dan belum' itu terasa sangat menusuk hatinya. Entah kenapa ia merasa terusik dengan pertanyaan Andy. Toh, ia bisa memilih tidak menjawab dan menyimpannya rapat. Apapun cerita itu, tak ada hubungannya dengan Andy. "Tidak ada hubungannya denganmu." sahut Arin dingin.

"Ada! Dan aku akan mengatakannya. Setelah mengetahui keseluruhan cerita kalian." kata Andy tegas.

"Kenapa kamu menyimpulkan seperti itu?" sahut Arin, mencoba mengelak untuk menjawab. Arin merasakan hawa dingin yang bukan dari udara. Ia tidak menyukai pertanyaan Andy. Ia tidak ingin mengingat kembali cerita tersebut.

Rahang Andy mengeras. Sejak awal datang, Arin menunjukkan keceriaannya. Ia terlihat mudah diajak berbicara dan bercanda. Namun ketika pertanyaan ini muncul, suasana jadi berubah. Andy membulatkan niatnya. Ia berkata. "Pertama..." ujar Andy, suaranya tajam dan jelas. "Kamu memanggil kakakku dengan nama 'Kimo'. Kebanyakan kawan sekolah kita memanggilnya dengan Aki, atau Mora. Kimo adalah nama panggilan dari Appa untuknya. Ia hanya mengijinkan dipanggil seperti itu, oleh orang terdekatnya." kata Andy, memberi penjelasan panjang.

Arin terdiam, merasa mendengar dengan jelas kalimat itu menggema dari suatu tempat.

Kimo! Kamu harus memanggilku dengan nama itu, aku menyukainya. Appa yang memberikannya untukku!

"Kedua..." kata Andy, sambil mengangsurkan HP dengan akun medsos miliknya yang sudah terbuka. Arin mengamati sekilas postingan Andy. Foto wefie saat mereka hiking, yang menampakan wajahnya dan Andy dengan jelas. Andy lalu menscroll postingan ke bawah yang dikomentari oleh akun @aki_mora. 'Be there, soon.' Tertulis di sana.

Lihat selengkapnya